Sabtu, 09 Mei 2015

Cerpen "Takzim cinta di Al-Aqsha"

Sabtu, 09 Mai 2015






Takzim Cinta di Al-Aqsha


Sahabat, izinkan aku bersua dengan kalian melalui secuil cerita cinta ini. Sahabat, kita harus benar-benar mensyukuri bahwa kita tetap berada di negeri nan elok ini. Sahabat, negeri kita hijau, negeri kita subur, negeri kita teramat sangatlah indah. Pernahkah kalian menyadari dan mensyukurinya? Pernahkah kalian mensyukuri bagaimana daun-daun nan hijau itu mengeluarkan hembusan udara yang sangat menyejukkan negeri kita? Pernahkah kalian menyelami bagaimana merdunya suara deburan air-air terjun yang berbuih jatuh dengan lembut dari tebing-tebing ngarai gunung? Hingga akhirnya air itu mengalir jauh ke hilir dengan membawa kehidupan bagi para petani. Sahabat, sekali lagi pernahkah kalian berderu menangis kala kalian menyadari bahwa inilah nikmat yang teramat sangat indah yang Allah berikan kepada kita? Lahir, tumbuh, bermain, berkembang, beranjak dewasa dan mungkin nantinya pun kita memisahkan jasad dengan ruh kita di negeri ini. Inilah nikmat hidup di negeri yang konon banyak yang mengkaffahkan1 negeri ini sebagai miniatur surga. Aku yakin kalau kalian semua pasti melalaikan berjuta nikmat ini, hingga kita terbuai dengan semua masalah dalam dilema nokta aral hidup kita. Lalaikah kalian dengan berjuta nikmat ini? Lupakah kalian dengan semua ini?
Aku tak berhak untuk menuduh atau memojokkan kalian. Sejujurnya dulu aku juga melalaikan nikmat ini. Nikmat telah terlahir di tanah subur menghijau ini. Aku lalai karena hidupku terlalu sibuk untuk memikirkan ragawi yang berjubah tujuan duniawi semata. Semua pikiran dan imajiku tertuju pada satu titik yang sebenarnya aku sendiri bertanya-tanya. Apakah titik inti pusara itu yang akan menjadi esensi hidup manusia di dunia. Titik di mana fatamorgana duniawi menyilaukan mentah-mentah mata setiap manusia. Betapa takabur jiwa rapuhku yang telah melupakan semua nikmat itu.
Itu dulu! Sekarang, setelah aku mengalami sebuah cerita cinta ini aku benar-benar takjub dengan nikmat yang aku miliki ini. Aku tertampar keras dan tersadar bahwa tak ada satu pun dari semiliar manusia yang menyesaki bumi ini bisa mendapatkan nikmat yang sama seperti diriku. Siap pun dia? Dari pojok bumi mana pun tidak ada yang mampu menandingi nikmatku. Nikmat telah terlahir di negeri ini, Indonesia.
Empat tahun yang lalu aku mendapatkan sahabat pena baru. Kami bertemu lewat dunia maya yaitu Internet dengan berbagai aplikasi jejaring sosial Friendster. Friendster sendiri adalah sebuah aplikasi jejaring sosial yang memungkinkan kita dapat berhubungan dengan siapa pun di seluruh dunia ini, tanpa terkecuali. Kita bisa memajang foto-foto kita di dalam aplikasi tersebut dan memungkinkan untuk dilihat teman-teman kita. Selain itu kita juga bisa berbagi kegiatan kita dan bisa dilihat dan dikomentari oleh teman-teman kita. Sahabat penaku bernama Fathi Saffara berasal dari Palestina. Menurutku, Saffara adalah wanita yang sangat cantik. Dia memiliki bola mata cokelat nan indah. Kulinya pun putih bersih, alisnya tebal dan tentunya hidung mancung menyempurnakan indah wajahnya yang khas dengan raut wanita-wanita Arab. Jika di ibaratkan deretan angka dari 1-10 maka dia sepantasnya menduduki singgasana emas angka 8-9. Walaupun aku sendiri seorang wanita tapi aku masih kagum dengan kecantikan Saffara.
Kami bertemu setelah menjadi anggota komunitas hijabholic.com, di mana blog tersebut selalu memberikan info tentang model Hijab terbaru. Dalam blog tersebut juga mengajarkan bagaimana cara berbusana terutama dengan mengombinasikan Hijab atau jilbab. Kami seperti menemukan ikatan yang kuat di hati. Kami memiliki beberapa kesamaan hobi dan minat. Sehingga persahabatan beda negara dan budaya ini terus berjalan hingga kini. Semakin hangat hubungan persahabatan kami.
Aku pun memperkenalkan diriku kepada Saffara. Seila Nasyarfaqi Zasrauw seorang mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi Internasional, Universitas Jaya Baya. Kami tidak kesulitan dalam berkomunikasi karena kami bisa menggunakan Bahasa Inggris aktif. Seiring berjalannya waktu pertemanan kami tidak melulu melalui Frienster belaka. Kini kami sudah bertalian saudara melalui Facebook, Perfspot, Yahoo Mail, Yahoo Messenger, Blog dan setelah beberapa tahun berjalan sesekali kami bersua melalui hubungan telepon satelit jarak jauh.
Persahabatan kami sangat menarik. Aku sering menceritakan betapa indahnya Indonesia. Aku beberapa kali mengirim gambar dan deskripsi tentang obyek wisata yang tersebar di seantero belahan Indonesia Raya seperti: megahnya Borobudur, eloknya Bali, eksotisnya puncak Gunung Bromo, heningnya Danau Toba, Pulau Komodo yang menantang, hamparan lukisan alam Raja Ampat dan tempat lainnya. Aku menjelaskan seperti layaknya duta pariwisata saja. Bahkan sampai tarif buang air kecil pun aku beri tahukan. Begitulah layaknya kalau memiliki hubungan beda negara dan budaya. Saling bertukar ilmu dan wawasan.
Begitu pun dengan Saffara. Dia menceritakan tentang Palestina baik itu kondisi kota, budaya, adat dan pola sosial masyarakat Palestina. Saffara sendiri terlahir di kota Gaza. Dia menceritakan bahwa di Gaza terdapat makam Hasyim bin Abdi Manaf yaitu kakek Nabi Muhamad SAW. Selain itu di kota ini pula terlahir sosok Imam Syafi’i. Saffara menceritakan kotanya dengan penuh kebanggaan karena Gaza termasuk berperan dalam perkembangan agama Islam.
Akhir-akhir ini aku dikejutkan dengan berita-berita yang menjadi headline di beberapa media International baik itu televisi, internet dan media masa. Berita itu menyebutkan bahwa akan terjadi serangan krisis kemanusiaan. Krisis itu akan menjadi kekacauan di Palestina yang dikabarkan akan mendapat serangan dari dunia luar. Bahkan dikhawatirkan juga serangan itu nantinya akan memiliki efek domino di sektor sosial, moral dan krisis keamanan Internasional. Sudah berbulan-bulan isu-isu itu terus bergulir keras di mata dunia bahkan kini isu telah melebar menjadi adanya indikasi pemusnahan massal dengan hujan nuklir di Palestina. Isu-isu berbau SARA juga bergunjing keras di sana, sungguh suasana di Palestina tidak bisa digambarkan. Palestina seolah menjadi pusat zona merah konfrontasi pihak tidak bertanggung jawab.
Mataku selalu berkaca-kaca setiap berita itu muncul di televisi. Aku merasa hatiku bagai tertusuk bayonet prajurit militer, sakit sekali. Walau aku berada di negeri yang tidak terkait dan tidak ikut campur dengan carut-marutnya suhu di Timur Tengah tapi aku merasakan sedih yang mendalam. Aku takut kehilangan sahabat yang sudah aku anggap seperti saudaraku sendiri. Siapa lagi kalau bukan Saffara?.
Sudah hampir tiga bulan ini aku kehilangan kontak dengan Saffara. Aku bingung harus berhubungan dengan apa. Jaringan Internet di sana terputus akibat konflik dan kekacauan yang terjadi di sana. Setali tiga uang jaringan telepon juga terputus. Aku tak bisa menghubungi Saffara sama sekali! Aku hanya ingin bersua dan menanyakan keadaan dia saja. Apakah dia berada di tempat yang aman?.
Sulit sekali menghubungi Saffara hingga aku hampir putus asa. Emailku tadak di balas begitu pula dengan jejaring yang lainnya. Aku kehilangan seorang sahabat, teman berbagi cerita dan bahkan dia sudah aku anggap layaknya kakak. Walau kami terbentang antara Palestina dan Indonesia tapi hati kami layaknya menyatu dalam kasih sayang persaudaraan universal.
Dalam kondisi putus asa, aku mencoba untuk memposting kisah persahabatan kami di halaman website “livejuornal.diary.com”. Sebuah website International yang memuat posting kisah-kisah inspiratif dari berbagai orang di belahan dunia ini. Dalam kisahku itu, aku menceritakan bagaimana awal perkenalan kami hingga berjalan bertahun-tahun. Kami sudah saling mengenal layaknya sahabat karib atau bahkan sudah seperti kakak beradik. Persahabatan kami sungguh memberikan arti tersendiri bagi kami. Di akhir dari cerita aku berharap bisa bertemu dengan Saffara, aku ingin melihat dia. Jikalau tidak bisa bersua langsung maka aku berharap dan berdoa kepada Allah agar aku bisa berhubungan lagi dengan Saffara walau hanya melalui jaringan dunia maya.
“Aku telah kehilangan seorang yang telah menemaniku. Aku kehilangan senyum manis dari bibir yang tulus. Andai aku bisa melangkahkan kaki menuju Palestina, aku pasti ke sana!. Aku akan menemani dia melewati masa-masa gelapnya. Aku akan membawa sebuah lentera kecil penerang hatinya. Teruntuk jiwa yang merajuk kepada angin, aku titip rindu kepada Saffara yang berada di Gaza, Palestina. Tabahkanlah hatimu. Aku selalu mendoakanmu.”Begitulah nukilan bait terakhir dari kisah yang aku tulis dalam blog tersebut. Aku ingin siapa pun yang membaca kisah ini akan menyampaikan takzim salamku untuk dia.
Berbulan-bulan aku tidak mendapatkan dari Saffara. Aku benar-benar di buat meradang ketika semua berita mengatakan kota Gaza telah porak-poranda. Gaza mendapatkan serangan dari bangsa-bangsa pendusta. Keadaan di sana sangat sulit. Listrik padam, jaringan telekomunikasi terputus, krisis pangan dan lain sebagainya. Mataku nanar melihat itu semua dan akhirnya aku tak kuasa membuncahkan tangisku. Pikiranku tertuju kepada Saffara, gadis periang nan cantik itu bagaimana kabarnya?
Suatu siang, disela jam kuliahku. Aku mendapatkan email dari komunitas persaudaraan muslim yang bertempat di Amerika. Mereka telah membaca ceritaku yang aku muat di situs website beberapa bulan lalu. Mereka sangat simpati terhadapku, bahkan sekretaris jenderal komunitas tersebut menangis ketika membaca kisahku. Jika aku berkenan mereka akan membiayai diriku untuk pergi ke Palestina demi menemui Saffara. Mereka juga membatu melacak di mana keberadaan Saffara. Aku bimbang dengan keamanan di sana tapi mereka akan mencarikan waktu yang tepat untuk memberangkatkanku. Mereka juga menunggu keadaan di Palestina membaik. Hal itu mungkin membutuhkan waktu hingga beberapa bulan ke depan.
Kini setelah menunggu hampir tiga bulan akhirnya aku benar-benar berangkat menuju Palestina bersama dengan delegasi dari komunitas persaudaraan muslim. Aku benar-benar tidak menyangka akan bersua dengan Saffara, saudara terjauhku. Kami sudah dua hari berada di Gaza, selama itu pula air mataku tak pernah berhenti menetes melihat kondisi kota ini. Kehancuran di mana-mana, bekas-bekas meriam sangat jelas nampak di sekitar jalan raya. Setiap jengkal mataku memandang selalu ada tangis yang membahana. Aku tak bisa membayangkan jika aku harus mengalami malam-malam mencekam di kota ini. Penuh hujan meriam, mortir dan suara-suara ledakan menggaru di mana-mana. Kota ini telah hancur dan porak-poranda.
Walau dengan perjuangan yang sangat melelahkan akhirnya tim pencari menemukan seorang wanita berusia sekitar 25 tahun yang Fathi Saffara. Wanita itu kini sudah tidak lagi berada di kota Gaza. Kabar terakhir mengatakan bahwa wanita tersebut berada di kamp pengungsian yang berada Yerusalem. Tim pencari kemudian mencoba menelusuri jejak wanita tersebut untuk memberitahukan bahwa ada seseorang dari Indonesia yang bernama Seila Nasyarfaqi Zasrauw. Tim memberikan petunjuk-petunjuk lainnya tentang diriku. Jika wanita yang bernama Saffara tersebut memberikan sinyal positif maka tim pencari bisa memastikan bahwa dia adalah yang kita cari. Tim berusaha membujuk Saffara untuk menemuiku di Gaza tapi dia menolak karena alasan trauma psikis. Memang selama pencarian itu aku tidak di perkenankan untuk ikut dengan alasan keamanan. Selama itu pula aku hanya berada di sebuah rumah yang di jaga dengan ketat oleh pihak militer.
Aku menyetujui keputusan tim untuk menemui Saffara di Yerusalem. Mereka sudah membuat janji bertemu di Masjid Al-Aqsha. Al-Aqsha sendiri adalah salah satu masjid suci bagi umat Islam. Umat Muslim meyakini bahwa Nabi Muhamad SAW di angkat menuju Sidratul Muntaha2 dari tempat ini setelah sebelumnya Nabi di bawa dari Masjid Al-haram di Makkah dalam. Peristiwa itu di sebut dengan Isra Mi’raj. Selain itu Masjid Al-Aqsha juga pernah menjadi arah kiblat bagi umat Muslim selama 17 bulan dan akhirnya di pindah ke Ka’bah sampai sekarang. Aku sungguh tak menyangka pertemuan itu akan terjadi di sebuah tempat suci bagi umat Islam. Aku berharap tempat suci ini nantinya akan mengikat cinta suci kami dalam persaudaraan yang bercurah kidung nikmat sempurna ajaran Islam.
Dengan penuh perjuangan yang keras dan menempuh perjalanan sangat jauh akhirnya kami tiba di kota Yerusalem. Aku sangat merasakan betapa mencekamnya keadaan kami selama berada di perjalanan. Kami harus melakukan perjalanan di malam hari karena waktu seperti ini lebih kondusif. Dalam keadaan darurat di perjalanan terkadang sesekali lampu mobil kami harus dimatikan.
Menjelang subuh barulah kami sampai di Masjid Al-Aqsha. Aku benar-benar tak menyangka bisa menginjakkan kaki di masjid yang awalnya di dirikan oleh Umar Bin Khattab. Bukan perkara yang mudah untuk memasuki mimbar utama masjid ini. kami harus melewati beberapa pemeriksaan untuk memastikan bahwa kami steril dari benda-benda berbahaya. Dengan di temani beberapa teman dari Komunitas Persaudaraan Islam, aku menunggu Saffara dengan perasaan yang tak menentu. Inilah pertama kalinya aku bertemu dengan Saffara setelah sekian tahun berteman.
Setelah beberapa saat menunggu akhirnya Saffara datang juga. Dia berjalan pelan dengan gamis warna cokelat dan mengenakan jilbab panjang. Selain itu wajahnya juga tertutup oleh cadar dan kacamata hitam. Aku berdiri dan kemudian membaur dalam salam dan peluk takzim kerinduan seorang muslimah. Aku dan Saffara mengharu dalam tangis. Saffara juga mencium kedua pipiku bagai seorang kakak yang mencium adiknya. Entah aku tidak bisa menggambarkan perasaanku sendiri. Aku diselimuti haru yang tak mampu membendung tangisku. Semua yang melihat kami juga ikut menghamburkan tetes-tetes air mata mereka. Ukhuwah Islamiahlah yang telah mempertemukan kami. Aku dan Saffara.
“Kenapa kamu sampai di sini? Aku sangat mencemaskan keadaan kamu. Aku takut ada apa-apa dengan kamu.” Suara lembut Saffara membuyarkan imaji bahagiaku.
“Bukan kamu yang seharusnya mencemaskan aku. Tapi akulah yang semestinya mencemaskan keadaanmu. Aku takut terjadi apa-apa dengan dirimu yang berada dalam kondisi yang mencekam ini.” Hiburku kepada Saffara.
“Kamu harus bersyukur berada di negerimu yang elok nan damai permai. Aku berharap kamu tidak akan mengalami keadaan seperti diriku saat ini. Mungkin ragaku tidak merasakan apa-apa. Tapi hatiku telah hancur berkeping-keping. Kamu telah melihat bagaimana bangsa-bangsa pendusta itu telah meluluh lantahkan tanah kelahiranku. Semua rata dengan tanah. Setiap malam deru mesiu, senjata api, meriam, geranat bahkan rudal sekalipun menghiasi langit malam negeriku. Entah apa yang mereka inginkan dari negeriku ini.” Saffara menangis dalam pelukanku. Seolah dia ingin menumpahkan semua bebannya. Aku memeluk dan mengusap kepalanya.
“Aku berharap kamu bisa sabar dalam menghadapi cobaan ini. Bukankah Allah mencintai orang-orang yang sabar dan tawakal kepadanya. Aku akan berdoa agar keadaan ini cepat berlalu dan kedamaian akan menaungi Palestina.” Aku sudah tidak tahu harus berucap apa. Saffara semakin larut dalam tangisnya. Terdengar Saffara menyenyikan bait-bait lagu dari Michael Heart.
“We will not go down. In the nights without a fight. You can burn up our mosque, our homes our school. But our spirit will never die. We will not go down in Gaza to night.” Aku menangis haru mendengar lirik tersebut. Lirik itu dinyanyikan dengan sangat tulus. Sekali lagi, hal ini membuat semua orang yang melihat kami juga turut menghamburkan tangis. Subuh yang di selimuti tangis keharuan.
Akhirnya kami memasuki waktu subuh. Saffara mengajakku untuk melaksanakan salat subuh. Aku hanya mengikuti Saffara untuk mengambil wudu. Tapi aku meminta izin untuk mengambil minum dulu dan akan segera mengusul. Setelah minum dan menyusul Saffara aku benar-benar tertampar dengan pemandangan yang aku lihat dengan mata kepalaku sendiri.
Perlahan Saffara membuka cadar dan kacamatanya. Aku menangis melihat keadaan mata kiri Saffara yang tidak ada retinanya. Kelopaknya tertutup sempurna. Setelah merapikan cadarnya Saffara menyingsingkan gamisnya setinggi lutut. Sekali lagi badanku melemas dengan apa yang aku lihat, aku tersungkur lemas mendapati kenyataan di depan mataku. Kaki kiri Saffara telah terpotong setinggi lutut dan dia harus menggunakan kaki palsu. Aku tak menyangka begitu parahnya serangan dari bangsa-bangsa pendusta itu. Bangsa-bangsa pendusta itu telah menyerabut kecantikan dari Saffara. mungkin bukan hanya Saffara tapi ribuan wanita juga mengalami hal serupa. Aku menangis tak kuasa melihat ketegaran Saffara. Dia yang dulu teramat cantik kini harus kehilangan beberapa anggota tubuhnya. Ketegaran itu membuat aku bangga sekaligus haru. Apakah aku akan sanggup setegar itu jika hal seperti ini akan menimpa diriku.
Tanpa kusadari Saffara telah mengusap air mataku dan memberikan tangannya untuk membantu diriku berdiri. Dia menyuruhku untuk segera mengambil air wudu dan kami akan melaksanakan salat subuh berjamaah. Aku melihat Saffara sudah rapi dengan cadar dan kacamatanya seperti sedia kala. Di fajar subuh yang menyesakkan jiwa, kami berjamaah dengan khusyuk mempersembahkan iman kami kepada Sang Pemilik Arrasy, Allah SWT. Dalam balutan mukena aku tertatih menahan isak tangisku. Hingga akhirnya salam mengakhiri salat kami.
“Kamu harus bisa mensyukuri nikmat Allah yang telah di curahkan kepadamu. Kamu bisa terlahir di negeri damai, subur dan elok. Jagalah imanmu! Aku berdoa agar kamu tidak akan merasakan apa yang pernah aku rasakan ini. Aku janji jika semua sudah membaik aku akan menghubungimu lagi. Terima kasih atas kedatanganmu ke Palestina untuk menemuiku. Doakan kami agar tetap sabar menghadapi cobaan ini. Maafkan aku tidak bisa menjadi tuan rumah yang baik untukmu.” Kata-kata Saffara menghanyutkan tangisku lagi. Entah sudah berapa kali aku menangis.
“Aku akan selalu menunggu kabar dari dirimu. Aku dan seluruh umat Islam di dunia ini pasti akan selalu mendoakan kamu dan saudara-saudara muslim di sini. Maafkan aku tidak bisa berlama-lama menemanimu. Biarlah Al-Aqsha yang suci ini menjaga cinta kita. Cinta tulus dari dua saudara. Di Al-Aqsha inilah aku menemukan mutiara ketegaran berupa iman dan takwa. Mutiara itu adalah dirimu.”
Karena pertimbangan keamanan kami harus segera meninggalkan Al-Aqsha. Akhirnya kami harus berpisah. Pertemuan itu hanya berlangsung beberapa jam. Tapi dari pertemuan itu aku mendapatkan pelajaran berharga tentang ketegaran dan rasa syukur.
Sekali lagi untuk yang terakhir kalinya kami berpelukan. Kami harus berpisah. Tapi perpisahan ini adalah awal tautan perasaan kami. Persaudaraan yang indah. Ini murni tentang hakikat takzim cinta kepada sesama. “Saffara, kaulah kakak terindah yang pernah kumiliki. Maafkan aku harus meninggalkanmu sendirian menghadapi semua ini. Doa tulusku selalu menyertaimu. Amin.”
***
Aditya D. Sugiarso
1 Kaffah (Arab)= Sejajar, Setara

2 Sidratul Muntaha : Tempat yang paling tinggi di atas langit ke-7, yang pernah di kunjungi Nabi.

Oleh : Aditya D. Sugiarso
Diposkan oleh : Teddy Silvanus

0 komentar:

Posting Komentar