Selasa, 14 Juli 2015

MUAKNU MOHO DENGAN SANGAT KEPADA

Selasa, 14 Juli 2015





MUAKNU MOHO DENGAN SANGAT KEPADA


Kembalilah wahai sayangku
Kembali padaku
Cintailah aku setulus hatimu
Karena aku tak bisa hidup tanpamu
Dan bila suatu saat nanti

Aku pergi
Bukan karena aku menyerah
Namun ku pergi karena waktu
Dan ruang yang memisahkan kita
Apabila itu terjadi
Maafkanlah bila aku
Tiada lagi disisimu

Karena kita terpisah ruang dan waktu
Bila saja waktu memihakku
Sejak dari awal sejal terakhir ku bertemu denganmu
Harusnya ku bilang sayang
Ku bilang cinta
Karena semua itu milikmu

Kemudian
Tetaplah jalani mimpimu
Meski saat itu nanti tak bersamaku
Karena bagiku
Bahagiamu damaikan hatiku. . .

Oleh : Siamsyu
Diposkan oleh : Teddy Silvanus

SELEMBAR PUISI UNTUK KEKASIH

Selasa, 14 Juli 2015






SELEMBAR PUISI UNTUK KEKASIH


Terpaku dalam kegundahan hati
Terasa tak dapat ku lawan dengan jari-jari
Tiada lagi tempat hari yang terasa ada
Hanya lelah
Lelah yang ku rasa……………

Andaikan waktu itu tak terjadi
Mungkin hatiku takan remuk seperti ini
Langkahku terhenti dalam kelamnya malam
Mataku terhalang jurang yang dalam
Pendengaranku sayup-sayup tak menentu
Hatiku terombang ambing dalam ombak kemarahan
Ragaku tak berkuasa untuk berfungsi
Mungkin tiada lagi yang dapat terjadi saat ini
Semangatku lemah hatiku susah
Teringat malam itu yang menyakitkan
Inikah kehidupan?

Kurasa semua bukan seperti ini
Mungkin masih ada titik terang
Yang akan menyinari kegelapan hati
Memberi pujian untuk diri sendiri
Meredamkan semua yang ada saat ini
Hingga aku dapat kembali ke kehidupan yang indah ini 

(Jogja, 2008)

Oleh : Triana
Diposkan oleh : Teddy Silvanus

Selasa, 07 Juli 2015

Cerpen KURELAKAN KEBAHAGIAAN INI UNTUKMU



Selasa, 07 Juli 2015





Cerpen
KURELAKAN KEBAHAGIAAN INI UNTUKMU


Saat di rumah sakit telah lahir bayi kembar yang di beri nama Febby dan Debby. Raut wajah mereka berdua sangatlah mirip. Tapi kasih sayang yang di berikan orang tua mereka berdua berbeda sedangkan Febby tak pernah begitu di manja berbeda dengan adiknya Debby.

Tiga belas tahun berlalu, Febby dan Debby pun tumbuh menjadi gadis yang cantik. Semakin lama kondisi Debby semakin melemah ia sangat memerlukan seseorang yang mau mendonorkan ginjal nya untuk Debby. Itu lah sebabnya Debby lebih di sayang di bandingkan kembarannya Febby.

Kini Febby telah mempunyai pacar yang selalu ada di dekatnya ialah Daffa. Febby sangat sayang terhadap Daffa begitu pula dengan Daffa.Namun tak sengaja pada suatu saat Febby sedang masuk ke kamarnya Debby untuk meminjam buku, ia malah melihat buku diarynya Debby terletak begitu saja di kasurnya karna Debby sedang tidak ada di kamarnya akhirnya Febby membaca isi buku diary milik Debby. Ternyata saat Febby membaca isi buku diary milik Debby ia sungguh tak percaya bahwa sebenarnya Debby juga menyukai Daffa.

Suatu hari Febby teringat kalau Debby sangat membutuhkan donor ginjal. Febby sungguh tak tega melihat kondisi kembarannya yang semakin melemas, Febby merasa bahwa ia lah yang harus menolong Debby hingga akhirnya Febby pun ingin bersedia mendonorkan ginjalnya untuk Debby. Febby juga tak mau melukai hati Debby oleh sebab itu ia ingin melihat Daffa untuk Debby.
***

Minggu pagi yang cerah, Febby dan Daffa sedang bersepeda dengan riangnya. Tapi suasana mulai berbeda saat Febby berhenti menaiki sepedanya.
“Daffa, maaf mungkin kau bukanlah untuk ku. Aku ingin sekali melihat engkau untuk kembaranku Debby, sebenarnya ia menyukaimu Daffa” ucap Febby dengan air matanya yang sudah berlinang
“Tapi…” Daffa berhenti sejenak berbicara. “Tapi Febby aku masih sangat menyayangimu” kata Daffa yang sedang terlihat kecewa
“Seharusnya kalau kamu memang sayang pada ku, aku mohon Daffa kamu mau ya bersama Debby. Saat ini aku sangat kasian melihat kehidupan Debby yang sangat berbeda dengan ku, aku merasa mungkin aku harus menolong Debby dan aku akan mendonorkan ginjalku untuknya” timpang Febby yang sedih
“Seharusnya ini bukan berarti kamu harus memberikan semua kebahagiaan yang kamu miliki ini untuk Debby. Aku minta kamu segera merubah pikiranmu untuk tidak mendonorkan ginjal mu untuknya” jawab Daffa dengan perkataannya yang halus
“Gak akan Daffa, aku hanya ingin menolong orang yang selama ini aku sayangi” ucap Febby
***

Sekarang Febby pun telah mendonorkan ginjalnya untuk Debby tapi kini semakin hari kondisi Febby mulai melemah tak seperti Debby yang terlihat sehat.Febby memang begitu baik terhadap kembarannya Debby, ia selalu menolong Debby seperti saat Debby sakit pasti Febby lah yang merawatnya tapi kenapa saat sekarang kondisi Febby sedang tidak membaik Debby malah tidak mau merawatnya, ia malah seakan puas dengan apa yang sekarang telah ia miliki. Kini Debby juga sudah mendapatkan lelaki yang ia sukai Daffa, sebenarnya Daffa pun tak menyukai Debby hanya saja ia menuruti apa yang selama ini Febby minta.

Dua tahun berlalu…Febby semakin tak kuat dengan rasa sakit yang selalu ia alami yang seakan semakin parah.Kehidupannya yang kini juga sangatlah berbeda jauh tak seperti saat kondisinya sehat, kini Febby hanya bisa menangis dan meratapi apa yang sekarang ada pada dirinya. Hingga akhirnya setelah tak berapa lama Febby pun telah meninggalkan kehidupannya. Debby pun sudah tak dapat lagi menahan tangis kepedihan matanya melihat saudara kembarnya telah terbujur kaku dengan kain putih yang menyelimutinya. Debby sangat menyesal karna ia telah mau menerima donor ginjal dari Febby ia lebih ingin kehidupannya kembali seperti saat dulu lagi begitu juga saat ia belum memiliki Daffa.

***SELESAI***


Ending :
Cerpen “Kurelakan Kebahagiaan Ini Untukmu” mengisahkan tentang kehidupan seorang saudara kembar yaitu Febby dan Debby. Namun, kehidupan Debby tak seindah layaknya saudara kembarnya Febby. Yang membedakannya karna Debby tak selalu mendapatkan kebahagian tak seperti Febby, Febby di anugrahi tuhan dengan kondisinya yang sehat berbeda dengan Debby, Febby juga mempunyai pacar yaitu Daffa yang selalu membuat kehidupannya semakin sempurna. Semakin lama akhirnya Febby merasa kasihan dengan kehidupannya Debby yang sangat berbeda dengannya. Akhirnya Febby pun memberikan semua kebahagiannya dengan tulus untuk Debby bahkan pun nyawanya.

Oleh : Yunita Anggraini
Diposkan oleh : Teddy Silvanus

PROFIL PENULIS
Nama : Yunita Anggraini
Pendidikan : JHS
TTL : 7 juli 1999

Cerpen Cinta Gara-gara HP n Nafsu GARA-GARA HAPE DAN NAFSU

Selasa, 07 Juli 2015





Cerpen Cinta Gara-gara HP n Nafsu
GARA-GARA HAPE DAN NAFSU



Sebuah HaPe tipe N 1600 berwarna hitam abu-abu melekat di tanganku. HaPe itulah yang membawaku masuk kedalam sebuah sandiwara yang sangat konyol. Ku perankan sosok Salsa dalam sandiwara itu untuk masuk ke dalam kehidupanmu.
“Assalamualaikum... Bagaimana kabarnya, Dan?” Sebuah sms pembuka sandiwara telah terkirim ke ponsel Daniel. Selang beberapa menit, Hp-ku bergetar, nampaknya balasan dari Daniel sudah masuk ke Hp-ku. Segera ku buka pesan itu.“ Waalaikumsalam... saya baik-baik saja, Btw ini siapa ya?” Balasnya singkat.“ Aku Salsabila Marwa Saidah, aku temennya Mega, teman SD kamu dulu !” Oh iya, salam kenal ya !” Balasku.

Dari situlah sandiwara antara aku dan Daniel dimulai. Memang awalnya Daniel tak percaya begitu saja dengan orang baru sepertiku. Dia memang orang yang susah untuk mempercayai sesuatu yang belum dia ketahui pasti. Namun, pada akhirnya, selang beberapa bulan dia percaya dengan permainan sandiwaraku ini.

Salsa adalah tokoh yang aku masukkan dalam sandiwara ini dengan sejuta penderitaan yang di pikulnya. Dia mengidap sebuah penyakit yang berbahaya dan mematikan, penyakit itu adalah penyakit kanker. Aku sengaja memasukkan tokoh seperti Salsa ke dalam kehidupan Daniel karena aku yakin dengan cara itu Daniel bisa memberikan segala perhatiannya kepada seorang Salsa.

Setiap hari aku harus memerankan seorang Salsa dalam permainan ini. Sesungguhnya aku tidak mau melakukan sandiwara ini, karena sandiwara ini sangat konyol bagiku. Tapi... kalau aku tidak melakukan semua ini, maka Daniel tidak akan pernah perduli denganku dan mungkin aku tidak akan pernah mendapatkan secuil perhatian darinya.

Setiap pagi, siang dan malam, HP ku tak henti-hentinya bergetar. Pesan dari Daniel selalu ada di Hp-ku. Entah itu cuman sekedar basa-basi, ngegombal bahkan curhatan tentang kisah cintanya, semuanya dia ceritakan pada sosok Salsa. Seneng rasanya bisa saling berbagi cerita dengannya. Seorang Salsa pun juga seperti itu. Setiap hari dan setiap jam apa yang dia alami selalu ia ceritakan dan ia laporkan pada Daniel.

Tak jarang Salsa sering mengeluh tentang penyakitnya pada Daniel. Daniel pun tak bosan-bosan mengingatkan Salsa agar rajin meminum obat dan selalu memotivasi Salsa agar Salsa tidak mudah patah semangat untuk menalani hidup ini. Sungguh, perhatian seperti ini belum pernah aku dapatkan dari seorang Salsa. “Dan, sakit Dan, aku sudah nggak kuat lagi Dan !” kata-kata itu sering aku ucapkan pada Daniel. Daniel pun segera menelfonku, dan menyuruhku meminum obat penahan rasa sakitnya. Sungguh dia begitu perhatian pada Salsa, memang dia pantas untuk mendapat julukan sebagai My Guardian Angel.
***

Setelah sebulan sandiwara ini berjalan, Daniel masih bisa bertahan dengan seseorang yang bernama Salsa. Dia masih sangat setia menemani hari-hari terakhir Salsa. Hingga pada saat akan menghadapi ujian pun Daniel masih setia mengingatkan Salsa untuk rajin belajar dan istirahat cukup. Dia mengingkan Salsa bisa menjadi juara kelas, walaupun Salsa memepunyai penyakit yang sangat berbahaya dan mematikan.
***

Seminggu telah berlalu. Daniel mencoba mengirimkan sebuah pesan pada Salsa. Ia ingin mengetahui bagaimana kabar Salsa. Karena ia telah hampir seminggu tidak berhubungan dengan Salsa. Namun, tak sekalipun Salsa membalas dan merespon pesan dari Daniel. Berkali-kali Daniel mengirimkan pesan pada Salsa, namun tetap saja tak ada sekalipun pesan yang masuk ke HP-nya dari Salsa. Daniel pun semakin khawatir dan menduga-duga, jangan-jangan Salsa tidak membalas sms-nya karena penyakitnya yang sedang kumat dan di rawat di Rumah Sakit. Daniel tak tahu ia harus berbuat apa agar ia bisa mendapatkan kabar terkini tentang Salsa.
***

Keesokan harinya di sekolah, aku mendengar Daniel cerita pada sahabatnya Virgi tentang Salsa. Namun, Virgi justru memberikan respon yang biasa saja, dia justru mengatakan “ loe itu nyadar nggak sih Dan, gue yakin loe itu cuman di bohongi dan dipermainkan sama seseorang saja. Percaya sama gue Dan!” tapi, Daniel justru marah-marah pada Virgi karena sahabatnya tidak bisa merasakan kecemasannya. Aku senang melihat Daniel lebih percaya padaku (sosok Salsa) dari pada sahabatnya. Kemudian tiba-tiba sebersit suara masuk ke telingaku. “ Ngapain kamu senyum-senyum sendiri Sa’?” tegurnya padaku. “ nggak pa-pa Dan, biasa aku memang agak lagi nebleng hari ini.” Balasku singkat. Daniel pun kemudian berlalu begitu saja dari hadapanku. Dia memang terlihat khawatir dan cemas. “ Maafin aku Dan, sebenarnya aku nggak mau ngelakuin ini, tapi memang semua ini aku lakukan karena aku ingin selalu dekat denganmu. Aku memang sengaja menghilangkan sosok Salsa secara tiba-tiba dari hidupmu, karena aku juga ingin tahu seberapa khawatirkah kamukalau kamu kehilangan seorang teman seperti Salsa.” Batinku dalam hati.
***

Setahun telah berlalu. Kini Salsa memang tidak pernah lagi muncul dalam kehidupan Daniel. Namun bukan berarti sandiwara itu telah selesai. Kini saatnya aku memasukkan tokoh baru di hidupnya. Dia adalah Amanda Dwi Pratiwi. Kali ini amanda akan ku mainkan dengan peran sebagai seorang anak yang liar, dan kurang kasih sayang dari kedua orang tuanya. Amanda adalah seorang gadis yang sangat tomboy namun dia juga anak orang kaya. Kesehriannya setiap hari selalu bermain balap-balapan bersama dengan teman-temannya di jalan Lingkar Timur. Permulaan Amanda aku masukkan dalam kehidupan Daniel juga sama seperti sewaktu aku memesukkan Salsa dalam hidupnya. Namun, kali ini agak berbeda. Daniel menganggap bahwa Amanda bukanlah Amanda , tapi Amanda adalah Salsa yang dulu pernah menghilang dari hidupnya karena penyakit kanker. Sebisa mungkin akhirnya aku harus bisa meyakinkan Daniel, kalau Amanda adalah Amanda, bukan Salsa.

Berhasil..... setelah segala usaha yang aku lakukan, akhirnya Daniel percaya juga bahwa Amanda adalah Amanda, bukan Salsa. Sandiwara pun akhirnya berjalan kembali. Tapi kali ini ada suasana yang agak berbeda. Kali ini bukan Daniel yang selalu mengingatkan untuk melakukan sesuatu, namun Amandalah yang selalu mengingatkan Daniel untuk selalu sholat tepat pada waktunya. Setiap Isya’ Amanda tak pernah lupa mengirimkan sms untuk Daniel, “ Dan, jangan lupa ya sholat, doakan teman kamu dulu biar dia cepat sembuh.!” Atau kalau bukan kata-kata seperti itu Amanda selalu mengingatkan dengan sms yang berisi “ Dan, sudah sholat Isya’ belum, buruan sholat Isya’, futsalnya nanti setelah sholat Isya’ ! kata-kata semacam itu yang sering Amanda gunakan untuk mengingatkan Daniel agar tidak mala sholat Isya’.
***

Tak terasa ternyata hubungan antara Daniel dan Amanda telah memasuki satu tahun. Tepat di tanggal 11 September hubungan antara Daniel dan Amanda genap satu tahun. Sungguh rasanya tak percaya bahwa sandiwaraku slama ini berhasil. Namun, tiba-tiba ditengah kebahagiaanku saat itu, ada sebuah pesan yang masuk ke ponselku, pesan itu mengatakan “ cepat kamu ngaku sebenarnya kamu itu siapa ! kalau kamu tidak kunjung mengakui siapa kamu yang sebenarnya, maka kamu akan aku cari sampai aku tahu siapa orang yang telah merusak hubunganku dengan Daniel.” Sebuah pesan dari Mita, pacar Daniel yang baru kemarin Daniel putuskan. Nampaknya Mita tidak terima kalau dia putus dari Daniel. Aku pun bingung, aku harus melakukan apa. Keesokan harinya aku certitakan pada sahabat-sahabatku tentang sms dari Mita. “ Mendingan kamu akhiri saja sandiwara kamu ini Nis, dari pada nanti Mita sendiri yang tahu kalau sebenarnya Amanda itu kamu !” Ujar sahabatku. “ Tapi San, aku nggak yakin apa nanti Mita bisa terima dengan semua ini?” Keluhku. “ Kalu kamu berani berbuat, sekarang kenapa kamu tidak berani untuk bertanggung jawab Nisa’? Sudahlah kamu ngaku saja, sebelum semuanya terlambat !” Tambah Sandy sahabatku.

Di rumah aku lebih sering murung. Aku bingung apakah aku memang harus benar-benar mengakhiri sandiwara ini. Akhirnya setelah hatiku tenang, aku kirimkan sebuah pesan ke nomor Daniel. Dengan berat hati aku harus mengetik satu per satu huruf di HP-ku. “ Dan, aku mau jujur tentang satu hal sama kamu, tapi kamu janji jangan marah sama aku ya !” kataku. Dengan cepat Daniel membalas pesan dariku “ iya.... katakan saja kamu mau bilang apa?” “ jadi gini Dan, selama ini Salsa=Amanda=Nisa’. “ balasku dengan cucuran air mata, karena aku masih belum siap unutuk kehilangan Daniel dari hidupku. “ Oh.... Terima kasih atas kejujurannya dan jangan pernah ganggu hidupku lagi. Terimakasih atas sandiwara yang kau berikan untukku.” Balas Daniel dengan penuh rasa kecewa. “ Tapi Dan, tolong maafin aku, aku tahu kamu pasti berat untuk memaafkanku, tapi tolonglah maafkan aku kali ini, pliss....!” Balasku dengan cepat. “ iya aku maafin kamu, tapi jangan ganggu hidupku lagi.!” Balasnya singkat.

Sungguh, seketika aku hanya bisa terdiam sambil meneteskan air mata penuh penyesalan.

Keesokan harinya di sekolah tiba-tiba sebuah tamparan melayang ke arah pipiku. “apa maksud kamu Mit?” tukasku. “ kamu sudah merusak hubunganku dengan Daniel, sekarang kamu puas.!” Shut Mita. “ Yah aku puas karena aku sudah berhasil merusak hubungan kamu dengan Daniel, karena aku memang tidak mau melihat Daniel mendapatkan pacar murahan sepertimu.!” Ucapku lantang sambil memegang pipi kananku yang habis ditampar Mita. Tiba-tiba tangan Mita memegang kepalaku dan menarik dengan kasar rambut panjangku. “ apa-apaan sih kamu Mit, lepasin !” Kataku sambil meraih rambut Mita juga.

Pertikaian pun terjadi. Melihat pertengkaran itu Daniel langsung menghampiri dan melerai kami. Maafkan , aku nggak bermaksud melakukan semua ini. Tapa menghiraukan kata-kataku Daniel langsung berlalu dari hadapanku.
***

Setelah semua itu. Hampir 5 bulan aku tidak emnemui Daniel. Dan secara tidak sengaja aku bertemu dengan Daniel di salah satu pusat perbelanjaan di Surabaya. Aku langsung menghampirinya. “amu masih ingat sama aku kan Dan.” Ujarku. “ Iya, aku masih ingat sama kamu !” jawabnya singkat. “kamu gimana Dan?” Kataku basa-basi. “ seperti yang kamu lihat aku baik-baik saja, bagaimana dengan kamu?” balasnya “ aku juga baik-baik saja, makasih ya Dan ternyata sekarang kamu sudah tidak marah lagi sama aku.” Balasku.

Kami pun akhirnya mampir ke restoran di mal itu. Kita berbincang-bincang banyak tentang kehidupan kita masing-masing. Sungguh hatiku sangat senang, ternyata Daniel adalah seorang lelaki yang pemaaf dan pendendam. Dia memang masih pantas mendapatkan julukan My Guardian Angel. Memang awal aku bertemu dengannya aku merasa sangat bersalah padanya. Namun Daniel berusaha menghilangkan rasa canggung dari hatiku. Dan akhirnya kami pun bisa kembali lagi seperti sedia kala menjadi sahabat yang saling berbagi satu sama lain. Bahkan kali ini, persahabatan kami jauh lebih bahagia dari pada dahulu. “ Terima kasih Dan, aku janji aku tidak akan lagi membuatmu kecewa dengan segala tingkah laku konyolku. Aku akan hadir dalam kehidupanmu sebagai diriku sendiri, bukan sebagai tokoh Salsa ataupun Amanda yang pernah aku mainkan dulu. Aku benar-benar tidak ingin membuatmu kecewa. Kaulah sahabat terbaikku sekaligus My Guardian Angelku.”

Oleh : Isfiyatush Shofi
Diposkan oleh : Teddy Silvanus

Senin, 06 Juli 2015

Cerpen Cinta Romantis SENYUMMU

Senin, 06 Juli 2015





Cerpen Cinta Romantis
SENYUMMU



Hari Sabtu yang cerah, tepatnya hari ulang tahun salah seorang sahabat Karin, yaitu Rian. Hari itu Karin berniat untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepada Rian. Karin adalah remaja putri manis berkulit sawo matang dan berambut panjang berwarna hitam pekat. Semetara Rian yag memiliki kulit putih, berkacamata dan memiliki lesug pipit. Karin pun mengucapkan selamat ulang tahun itu melalui via sms.

Berlama-lama Karin menunggu balasan dari Riani untuknya, karena ia tidak sabar akhirnya ia pun menelepon Rian. Tuttt tuttt tuttt beberapa kali suara itu terdengan di telinga Karin, setelah beberapa lama kemudian “Hallo”, terdengar suara lembut dari seorang wanita yang mengangkat telepon itu.
“Bisa bicara dengan Rian? Ini saya Karin”, ucap Karin
“Oh Karin. Tunggu sebentar ya“ Ternyata itu adalah suara dari ibunda Rian,
“Karin maaf, Riannya tidak mau bicara. Katanya dia malu, Rian sedang sakit”.
“Oh gitu ya tante, makasih deh. Semoga Rian cepat sembuh ya”,
“Iya Karin, terimakasih”.
Hanya keheningan di ruang tengah rumahnya yang bisa dirasakan Karin saat mendengar kabar itu. Memang benar Karin dan Rian sudah berteman lama sejak mereka duduk dibangku Sekolah Dasar. Tiba-tiba handphone Karin pun bergetar tanda sms masuk. Yang Karin harapkan hanyalah balasan sms dari Rian, namun itu adalah sebuah sms dari Mimi, yaitu teman baik Karin. Ka, Aji kecelakaan motor . Kakinya patah, sekarang di rawat di rumah sakit.

Begitu Karin membaca sms itu, dia tidak tahu harus berbuat apa. Sungguh tragis apa yang dia alami pada hari itu. Aji adalah sahabat karib Karin yang memiliki postur tubuh yang tinggi dan kulit yag berwarna cukup gelap karena Aji adalah seorag pemain basket, mungkin Karin telah menganggap Aji sebagai kakak sendiri, padahal umurnya pun lebih muda Aji. Meskipun hanya berbeda beberapa bulan saja Karin tetap menganggap Aji adalah kakaknya. Aji selalu menjaga Karin, entah apa yang dia maksud. Tapi disetiap kondisi apapun Aji selalu memperhatikan Karin. Sewaktu masih duduk di Sekolah Dasar mereka berdua memang sekelas, ditempat les pun mereka bersama, orang tua mereka pun kenal akrab. Ya jadi mereka berdua memang seperti saudara saja.

Setelah mendengar kabar itu Karin langsung memberi tahu ibunya dengan tergesa-gesa. Akhirnya, Karin membuat rencana dengan teman-temannya untuk menjenguk Aji pada keesokan harinya. Karin sangat senang karena akan menjenguk salah satu sahabatnya itu. Namun, saat pikirannya kosong Karin bingung, saat dia telah melihat kondisi Aji apa yang akan dia sampaikan kepada Aji, apakah dia harus memarahi Aji kah agar tidak mengebdarai motor dengan ceroboh? Ataukah ia harus berdiam diri? Itulah yang membuat Karin bimbang. Entah perasaan apa yang sedang ia rasakan.

Karena hatinya memang lagi ga bisa tenang, Karin pun mencoba mengirimkan sms kepada Aji yang sangat singkat, Ji,

Dua suku kata yang memberikan harapan kepada Karin bahwa Aji telah siuman. Namun, sudah lama ia menatap handphone-nya itu tetapi tidak ada satu pesan pun yang masuk. Dengan perasaan tidak begitu yakin dan hanya bisa berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja, Karin pun pergi untuk tidur.
***

Esok pun tiba, segera Karin bersiap untuk menjenguk Aji. Dengan semangat sambil bingung berfikir bagaimana keadaan Aji sekarang Karin bersiap. Lalu Karin pergi ke tempat yang biasa ia datangi ketika berkumpul dengan teman-teman Sekolah Dasarnya. Taman kompleks yang penuh bunga, dan banyak juga pedangang disana. Tempat yang memang sederhana, namun begitu banyak meninggalkan kesan yang teramat dalam. Tempat dimana semua kebahagiaan dan semua kesedisan dapat berpadu menjadi satu. Akhirnya Karin sampai di tempat itu. Disana, teman-temannya sudah berkumpul.

“Ka, katanya Aji udah pulang ke rumahnya”, ucap Mimi. Begitu Karin mendengar itu, sungguh kata syukur yang dia bisa ucapkan. Dan dia pun telah bisa mengambil kesimpulan bahwa keadaan Aji sudah membaik. Tanpa banyak bincang-bincang lagi Karin dan teman-temannya pergi ke rumah Aji.

Rumah sederhana yang harmonis dan terkesan seperti rumah di dongeng-dongeng, dengan halaman yang tidak terlalu luas tapi banyak ditanami pohon dan berbagai macam bunga, itulah yang menjadi seseorang nyaman berada di rumah Aji. Ruangan depan yang luas, berpadu dengan sebuah TV, foto-foto yang menggatung di tembok maupun yang berdiri di meja, dan sebuah kasur yang tergeletak di lantai tempat Aji berbaring dengan kondisi yang menurut Karin cukup sadis. Di ruangan itu, Karin dan teman-temannya berkumpul bersama Aji yang masih terbaring lemas. Namun, ada satu sisi yang membuat Karin terkesan kepada sahabatnya itu, meskipun Aji mengalami kondisi seperti itu tetapi Aji masih bisa tertawa seperti tidak merasakan sakit akan patah tulang yang ia derita. Dia orang yang tegar. Meskipun kaki kiri nya dibalut oleh perban Aji tetap seperti biasa, seperti tidak terjadi apa-apa. Tidak ada keluhan yang ia sampaikan kepada Karin. Karin sangat terkesan akan hal itu. Saat pertama kali Karin datang menghampiri Aji, dengan memaksa Aji langsung memeluk Karin dengan posisi duduk.
“Gue kangen sama lo Ka”, bisik Aji
“Iyaaa gue tau. Ji, sakit ga sih?” ucap Karin penasaran, sekaligus mengalihkan pembicaraan,
“Engga tuh, biasa aja. Kan ada kamu, hehehe”
“Ngegombal aja lu, pentingin tuh kondisi lo dulu”
“So pahlawan banget sih pake nasehati gua segala”
“Yaaaaaa, gue mau jadi pahlawan lo selama elo sakit. Hahaha”
“Okelaaaaa gapapa, toh gue ga rugi ko”
“Ihhhhh salah ngomong lagi kan. Yaudah cepet sembuh lu, biar gue bisa pensiun”
“Aminn, udah itu gue aja ya yang jadi pahlawan elo?”
“Hahahahaha kacauu. Yaa boleh deh”
Alangkah terharunya Karin melihat wajah Aji yang terlihat tanpa beban itu. Karin berharap, dirinya akan selalu bisa menyenangkan hati Aji.

Setelah beberapa lama berbincang di rumah Aji, Karin dan teman-temannya pulang. Berat hati Karin pergi melangkah dari rumah itu. Senyuman dari Aji untuknya adalah sebuah jawaban untuk Karin bahwa Aji akan bai-baik saja.

Salam pamit teman-temannya kepada ibunda Aji merupakan tanda teman-temannya sudah pergi pulang khususnya Karin sudah tidak ada disini. “Semoga gue cepet sembuh. Gue pingin ngajak lo ke sebuah tempat untuk ngebales apa yang udah lo lakuin ke gue selama ini, Karin” bisik Aji dengan nada rendah, anggaplah itu sebuah janjinya kepada Karin.
***

Karinnnn? Lo dimana? Mana ya pahlawan gue? Sebuah pesan singkat yang diterima Karin dari Aji pada keesokan harinya. Hanya senyum geli yang terpancar pada muka Karin saat membaca pesan itu. Apaaaaaaa? Dasar manja, ga usah so jadi anak kecil deh! Balas Karin untuk pesan singkat yang dikirimkan Aji padanya. Seharian Karin dan Aji balas-membalas pesan singkat. Dan pada malam hari itu semua ditutup atas permintaan Karin karena matanya sudah mulai mengantuk. Jiiii, ngantuk nihhhh. Udah dongggg, gue capeeee nihhhh, cape perut sama cape tangannnn pinta Karin kepada Aji. Yaudah, kamu istirahat sana besok sekolah kan? Gua mah kaga sihh, hehe. Dadah Kaka mimpi in gua yaaa, hehe. Begitu membaca pesan singkat dari Aji itu, Karin tersenyum kecil dan tertidur.

Bel istirahat berbunyi, lima pesan singkat masuk di handphone Karin dan semuanya dari Aji dan isinya pun sama menanyakan tentang keadaan Karin. Apaaaa sih Ji? Gua baru istirahat. Gua baik-baik aja Ji. Beberapa lama kemudian setelah Karin mengirimkan pesan itu kepada Aji, Karin menerima balasan. Ia langsung ternganga begitu membaca pesan dari Aji. Oh maaf deh, tapi tau ga? Sama dokter kaki gua dibungkus pake pipa dongg! Wah ga pengalaman banget dokternya, emang kaki gue air apa? Itulah balasan dari Aji kepada Karin, kata-kata konyol Aji yang memang khas punya Aji membuat Karin tertawa sendiri. Lo yang bodo itu mah, itu bukan pipa. Itu tuh dipasang ke kaki lo biar tulangnya ga ngegeser-geser lagi Ji. Yang buat air mah bukan pipa tapi paralon. Hahahaha, anak SMA masih kaya gini. Begitu bel masuk berbunyi mereka berdua berhenti berkomunikasi.

Akhinya Karin tiba di rumah. Dan terkejut mendapat pesan dari Aji Kakaaaa, udah punya seseorang belummm? Apa maksud Aji mengirimkan sebuah pesan seperti itu? Karin tidak membalas pesan yang dikirimkan Aji kepadanya. Tiba-tiba datang sebuah pesan baru Kakaaa, gue sayang sama lo. Gue mau jadi pacar elo. Lo mau?

Degggg jantung Karin berdetak keras tanda ia kaget. Ia tak percaya bahwa Aji akan mengirimkan pesan seperti itu. Sesungguhnya Karin memiliki rasa khusus kepada Aji, ia ingin bersama. Tapi Karin berfikir, apakah ia sanggup jika berbeda sekolah. Tapi, jika itu memang cinta mereka pasti bisa karena cinta yang membuat semuanya begitu. Akhirnya mereka berdua menjalin hubungan.
***

Setahun berlalu, hubungan mereka tidak seperti biasanya. Terasa ada yang mengganjal dibenak Aji tanpa mengerti dan paham apa yang sebenarnya terjadi. Begitu pun Karin, ia merasakan jenuh. Ia tak tau harus berbuat apa, Karin tidak tahan kepada sikap Aji yang posesif. Ada niat untuk mengakhiri hubungan itu, namun Karin tidak tega. Dan ia hanya memilih menunggu Aji saja yang mengakhiri hubungan ini terlebih dahulu.

Sebenarnya mereka berpacaran tanpa ada orang yang tahu, entah mengapa Aji yang meminta itu kepada Karin saat pertama jadian. Tapi lama kelamaan, teman dekat Karin yaitu Mimi mengetahui hal tersebut. Tapi sayangnya setelah teman-teman Karin dan Aji mengetahui tentang hubungan spesial yang dimiliki Karin dan Aji, mereka berdua lost contact. Dan tibalah saatnya, Aji mengakhiri hubungan tersebut dengan alasan dia lebih nyaman menjadi sahabat Karin. Ya memang Karin menunggu akan hal itu. Tapi, mengapa saat Karin bisa memahami dan lebih menyayangi Aji, Aji malah pergi? Dan akhirnya mereka berdua berstatus seperti dulu lagi. Yaitu sahabat.

Setelah kejadian itu mereka berdua tidak saling berkomunikasi, malah sepertinya Aji membenci Karin. Sampai saatnya Karin mengirimkan pesan singkat kepada Aji, Ji, kamu kenapa sihh? Gue pingin kaya dulu lagi, apa salah gue? Namun pesan itu tidak dibalas oleh Aji.

Sudah dua tahun lamanya mereka seperti itu, seperti orang yang belum saling kenal. Karena Karin tidak tahan kondisi itu akhirnya dia pergi ke rumah Aji untuk memiinta penjelasan kepadanya. Namun ketika Karin tiba di depan rumah Aji yang dia lihat hanyalah rumah bertingkat dua dengan nuansa sepi, bercat ungu muda, dan sepertinya baru saja dibangun. Karena Karin sudah negative thinking duluan akhirnya ia menanyakan kepenasaranannya itu kepada warga yang ada disekitar kompleks rumah itu. Syukurnya Karin bertemu dengan teman SDnya yaitu Yuki. Setelah lama berbincang dengan Yuki akhirnya Karin bertanya.
“Yu, rumah Aji ko gini sih?” Tanya Karin.
“Oh itu, soalnya Aji pindah rumah. Tapi gue kurang tau dia pindah kemana Ka”
“Gitu yaaa, ko dia ga bilang-bilang ke gue sih?”
“Yaaa itu mah gue juga gatau Ka, kenapa sih? Ko lo pengen banget ketemu sama dia? Padahal waktu SD kalian paling jago kalo berantem”
“Ahhh, itu ma gampang tar aja kalo gue udah damai sama dia, yaudah deh makasih infonya. Dadahhhh”, sambil berlari Karin berkata seperti itu.
“Ihhh tu anak ga rubah-rubah”, kata Yuki dengan ketus.
***

Setelah apa yang Karin ketahui, dia semakin bingung dengan kedaan yang sekarang. Lagi bingung-bingungnya Karin dengan keadaan, ibunya meminta Karin menemani pergi ke sebuah supermarket.
Sesampainya disana, Karin terkejut dengan perkataan ibunya,
“Kaka, itu temen mu yang tadi barusan lewat. Kalo ibu ga lupa namanya Aji kan?”
“Manaaaa?”, sambil melihat kearah kiri dan kanan, dan di arah kanan memang benar ada Aji sedang memilih-milih makanan. Namun saat Karin ingin mengejarnya, Aji malah pergi menjauh. Tanpa basa basi lagi Karin langsung mengejar Aji, ya pastinya Karin memberitahu ibunya terlebih dahulu.
“Ajiiiii!“, teriakan Karin tanpa rasa malu itu membuat laki-laki yang dia maksud mengalihkan perhatiannya kepada Karin. Namun saat Aji tau yang memanggil adalah Karin dengan suara streo khas Karin, Aji langsung pergi. Hal itu membuat Karin makin bertanya-tanya ada apa sebenarnya, namun Karin tidak mengejar Aji lagi, dia lebih memilih mencari ibunya.
***

Sesampainya di rumah, Karin masih terpikir hal tersebut. Namun, sungguh dia sangat bahagia bisa melihat Aji secara langsung. Banyak perubahan yang terjadi kepada Aji, dia lebih tinggi dan pipinya sedikit berisi, dan tetap saja kakinya masih dibalut dengan perban atau semacamnya yang berwarna coklat. Dengan atasan jaket warna abu-abu yang lumayan kebesaran, dan bawahan blue jeans pendek. Dengan penampilan seperti itu Aji sangat terlihat dewasa. Tapi, Karin bingung. Kenapa kaki Aji masih dibalut perban? Padahal kecelakaan itu udah lebih dari dua tahun yang lalu.

Sore harinya Karin memerima pesan singkat dari Mio yang mengatakan bahwa Aji mengalami cedera yang cukup fatal karena terkilir saat bermain basket pada luka bekas kecelakaan yang dia alami dulu dan Aji dirawat di rumah sakit. Mendengar berita itu, Karin jadi bingung sebenarnya apa yang sedang Aji lakukan tadi siang? Karin hanya berharap semuanya akan baik-baik saja seperti dulu.

Tak lama kemudian datang pesan singkat yang lainnya, tapi dari nomor yang tidak dikenal. Ini Karin? Kaka ini mamahnya Aji, bisa tidak Kaka meluangkan sedikit waktu untuk menjenguk Aji besok? Tante tunggu kehadirannya. Terimakasih. Karin semakin bingung dengan keadaan ini. Dan lagi-lagi dia hanya bisa berharap semua akan baik-baik saja seperti hari kemarin.
***

Keesokan harinya Karin datang ke rumah sakit tempat Aji diopname bersama Rian. Karin sengaja mengajak Rian supanya dia bisa nebeng di motornya Rian. Sesampainya di depan kamar tempat Aji diopname, kedatangan mereka berdua disambut baik oleh kedua orang tua Aji, namun sepertinya kondisi ibunda Aji tidak begitu baik. Pertama kali Karin melihat ibunda Aji menangis. Setelah bersalaman mereka berdua diminta masuk ke dalam kamar inap Aji. Dan apa yang Karin lihat? Aji yang diinfus, dan kakinya memakai penyangga. Sepertinya lukanya memang fatal, karena saat Karin mandekati Aji, dia melihat pipi Aji yang basah, seperti bekas menangis. Karin semakin tidak tega melihat kondisi temannya itu. Ketika itu Aji memang sadar, dan dia sedang berbicang dengan Rian dengan intonasi terpatah-patah. Beberapa detik kemudian, semua sunyi, hanya terdengar detikan jarum jam dinding. Lalu, Karin berusaha untuk meramaikan suasana, dia mencoba berkomunikasi kepada Aji.

Perlahan Karin di kursi samping kasur tempat Aji berbaring. “Lo jangan marah ke gue lagi, gue benci kaya gini terus Ji. Kalo lo udah sembuh, apapun yang lo minta ke gue bakal gue turutin. Tapi lo janji, lo harus sembuh, bener deh gue ga akan nyusahin lo. Gue bakal beliin lo lapangan basket yang empuk, biar kalo lo jatuh lo ga akan sampe kaya gini lagi”, ungkap Karin secara terbata-bata kepada Aji, dan Rian yang melihat itu semua hanya bisa menundukan kepala.
“Maaf”. Krikk krikk krikk, Hanya satu kata yang Aji sampaikan kepada Karin setelah Karin berbicara panjang lebar. Yaaa, ga apa-apa sih menurut Karin, toh dari waktu itu juga Aji emang udah jutek. Karena itu Karin keluar dari ruangan. Saat Karin sudah pasti jauh dari ruangan Aji kembali berbincang lagi dengan Rian, namun tampaknya mereka sangat serius. Tapi, ga serius juga sih buktinya Rian masih ketawa geje saat berbincang dengan Aji.

Beberapa lama kemudian Karin kembali lagi ke ruangan, bukan untuk berbincang dengan Aji melainkan mengajak Rian untuk pulang. Akhinya mereka pamit, saat mereka berada di pintu Aji berteriak dengan kesan memaksa “Ji inget kata-kata gue ya!”. Mereka pun pulang. Namun saat di tempat parkir motor, handphone Karin berbunyi tanda ada telepon masuk. Diangkat lah telepon itu, dan terdengar suara wanita “Kaka, cepat kembali lagi ke rumah sakit, kondisi Aji menurun drastis, dia tak sadarkan diri ”, “Iya tante, Kaka akan kesana lagi”. Dengan gegabah Karin langsung berlari tanpa meperdulikan Rian yang mengejar Karin.

Sesampainya disana, Karin sangat bersyukur karena Aji masih bisa sadar kembali. Tanpa berfikir panjang, Karin langsung menghampiri Aji, dan yang Karin lihat hanyalah senyuman Aji yang sangat Karin rindukan. Setelah itu, Aji menutup matanya. Dengan spontan Karin berteriak, hingga semua orang yang ada di luar termasuk dokter masuk ke dalam kamar inap. Dokter langsung memeriksa kondisi Aji, dan ternyata Aji sudah tiada. Air mata Karin tumpah, dan menetes di tangan kanan Aji. Rian yang baru datang seakan-akan dia tahu bahwa hal ini pasti terjadi, tiba-tiba memeluk Karin yang sedang menangis. “Tenang Kaka, lo harus kuat. Masih ada gue disini, gue akan ngejaga lo. Hidup lo masih panjang, Aji pasti akan ada selalu di hati lo. Buat dia bangga sama senyuman lo. Dia udah janji ke gue, meskipun dia udah ga ada pasti dia akan selalu ngejaga lo. Jangan khawatir, jangan nangis. Aji benci kalo lo ngelakuin hal itu. Maafin semua apa yang udah Aji lakuin ke elo, dia udah nyesel. Dia pengen banget bisa ngebahagiain elo, tapi bukan ini yang dia maksud. Ini semua bukan kita yang mau, tapi udah kehendak yang Diatas”. Saat itu, pelukan yang Karin rasakan sama dengan pelukan dari Aji, tanpa sadar Karin menatap wajah orang yang memeluknya itu dan dugaan Karin benar, senyum Aji yang dia lihat. Namun semua itu hilang ketika Karin mulai sadar yang memeluknya itu Rian bukan Aji. Tapi disisi lain Karin tetap percaya, bahwa yang memeluknya pertamakali adalah Aji.
Sebulan setelah kejadian itu, Rian berkunjung ke rumah Karin.
“Ka, sebenernya, apa yang gue ucapin waktu kemarin adalah perkataan Aji buat lo, dia ga sanggup ngucapin itu ke elo. Karena dia ga mau nangis di depan lo” ucap Rian.
“Ga apa-apa nangis juga, depan gue ini ko”
“Bukan masalah itunya Ka, beliau takut kalo lo ikutan nangis juga. Itu semua beliau pesanin ke gue pas di rumah sakit”
“Tapi perasaan, menurut pendengaran gue ya, kalian berdua ngobrol sambil ketawa?”
“Yaaaa, itu tuh ketawa waktu gue meragaiin apa yang Aji pesenin, yaitu apa yang gue ucapin ke elo kemarin”
“Ohhhh”, dengan senyuman tipis yang Karin buat pada bibirnya. “Yaudah, mulai sekarang lo jangan sedih lagi, ada Aji dan gue yang akan nemenin lo. Oh ya satu lagi, besok lo harus ikut gue ke Bogor, waktu beliau masih ada, Aji minta gue bawa lo kesana. Disana kita datangin rumah Aji, yang katanya sejuk itu. Tenang aja, nyokapnya Aji udah stand by disana ko”.
“Okaaaay, gue janji bakal nurutin apa yang Aji minta”, jawab Karin

" TAMAT "


Oleh : Dita Puspitasari

Diposkan oleh : Teddy Silvanus

Cerpen AKU MASIH ADA UNTUKMU

Senin, 06 Juli 2015





Cerpen 
AKU MASIH ADA UNTUKMU



Ada yang bilang persahabatan bisa melahirkan cinta. Mungkin saja it u adalah benar. Ya, mungkin. Itulah kata yang tak mungkin aku percaya sebelumnya.

Hari itu tepatnya hari selasa. Saat aku baru datang kesekolah bersama temanku . aku sekarang duduk di bangku SMA tepatnya kelas 1 SMA. Panggil saja aku Hisyam seperti teman-teman memanggilku. Hidupku bahagia karena bisa bersekolah di sekolah favorit di kotaku.

Hari ini pelajaran disekolah sedang kosong. Aku memutuskan untuk bersantai dengan Roni temanku ditaman sekolah. Aku memang tidak sekelas dengannya.


Ketika kami duduk dengan tenangnya. Tiba-tiba didepanku lewat seorang wanita berrambut panjang, teman sekelas Roni. Dia amat cantik dengan lesung pipitnya. Aku langsung bertanya pada Rony.
“ Siapa dia Ron, kok cantik banget?”. Tanyaku padanya. “

Oooh itu tadi, dia Rindu memang mengapa?” Dia malah balik Tanya setelah dia menjawab tanyaku.
“ Ya tidak apa-apa.” Jawabku singkat.
Bel sekolah bunyi dan kami masuk kelas kami masing-masing. Pelajaran bahasa Inggris sebagai pelajaran yang paling aku sukai benar-benar membuat hati gembira meski dengan guru yang tidak seperti harimau.
Dua jam berlalu semenjak pelajaran Bahasa Inggris. Kudengar bel sekolah berbunyi tanda pulang. Aku bergegas pulang kerumah .

Keesokan hari akusedang duduk sendiri ditaman, tempat indah itu dapat memberikan ketenangan untukku. Tapi tiba-tiba Rindu dating menghampiri dihadapanku kamipun duduk bersama dan berbincang-bincang.
“ Nama kamu Hisyam kan, aku tahu dari Roni. Ooo, iya nomor telefon kamu berapa?” . tanyanya dengan sok akrab. Akunya nyerahin saja karena sepertinya dia anak yang baik.
“Ini kamu lihat sendiri di Hp ku”.Ku serahkan HP ku saja untuk menjawab pintanya,Itulah awal mula tak saling cinta.Tapi kemudian setelah beberapa kami tak tutup ingin bersama tapi bukan sebagai sahabat.

Waktu telah menjawab semua tanya,Perasaan antara kami telah tumbuh pesat kami sekarang bukan hanya sahabat tapi lebih.Pacar,itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan keadaan kami.

Akupun bercerita pada Roni bahwa aku sudah bersama Rindu,Tapi Roni tidak peduli karena dia juga sudah memiliki kekasih .Hari-hari ku sangat bahagia bersama Rindu.Setiap malam kata selamat tidur adalah kata terakhir yang aku ucapkan padanya sebelum aku menutup mataku.

Keesokan pagi aku tiba di sekolah untuk bersama Rindu seperti biasa.Tapi ada teman Rindu yaitu Rani.Dia bilang padaku.
“His,jangan dekati Rindu lagi dia itu tipe cewek selingkuh.Aku sering memergoki nya bersama Dino,aku aku tidak bhong jadi kamu harus percaya.”katanya sambil meyakinkanku.

Terasa hatiku teriris dan terbelah seperti pisau tajam yang telah menhunus jantungku.
Rindu ,orang yang paling aku percaya ternyata menghianatiku.Tapi bukan itu saja Rani berkata pada Rindu kalau aku sebenarnya hanya ingin memanfaatkannya.

Rani benar-benar ingin Aku dan Rindu berpisah selamanya.Apa yang sebenarnya dia pikirkan,wanita jahat seperti Rani yang tega meng fitnah sahabatnya sendiri.

Setelah kejadian itu kami pun berpisah.Meski kami masih saling mencintai kami tak pernah terlihat bersama.Aku dan Rindu sekarang seperti orang yang tak saling mengenal.

Seminggu kemudian di beritahu temanku bahwa Rani itu sebenarnya mencintaiku.Aku kaget bercampur sakit di hatiku.Aku tak menyangka itu alasannya ia ingin memisahkan Aku dan Rindu.Kalau memang ingin bersamaku,seharusnya dia lebih mengerti bahwa aku sudah bersama Rindu.

Senin,5 maret 2012 aku datang sedikit terlambat.Sat bel berbunyi upacara bendera ku jalani dengan baik tapi tiba-tiba aku terjatuh pingsan.Aku tak tahu apa yang terjadi padaku.Setelah sadar Rindu yang saat itu adalah anggota PMR yang bertugas ada di sampingku.

Hisss,kau kan sudah tahu apa yang sebenarnya.Apa perasaanmu padaku sudah berubah?”Tanya nya padaku.
“Tidak Rin,aku samapi saat ini masih sendiri.Belum ada yang sudah mengisi hatiku,bahkan Aku masih ingin agar kita bisa bersama lagi seperti dulu dan aku juga berharap kau mau menerimaku kembali.’’Sambil menatap wajahnya aku menjawab tanyanya,Ruang UKS yang hanya ada aku dan Rindu terasa ramai dengan ungkapan perasaanku dan Rindu.
“Apa Rani masih menyukaimu?’Tanya Rindu sekali lagi”
“Memang masih, tapi aku tidak mau mempedulikannya lagi.Perasaanku terlanjur sudah di buatnya hancur,karena Roni kita berpisah.Aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama.”Jawabku sambil memegang bahunya.Tiba-tiba dia memeluk ku sambil menangis bahagia.Akhirnya kami memutuskan untuk bersama lagi.Roni sudah tidak mendekatiku lagi semenjak saat itu.

Aku berjanji tidak akan mengulang kesalahkanku lagi.Rani teman baik Rindu ternyata tega melukai perasaan sahabat nya.Penghianatan ini benar-benar tersa pilu tapi kini aku dan Rindu sudah menemukan kebahagiaan yang sebenarnya.

Oleh : Yosep Priyangga Mukti
Diposkan oleh : Teddy Silvanus

Sabtu, 04 Juli 2015

Cerpen Cinta Romantis SENSASI MURID BARU

Sabtu, 04 Juli 2015





Cerpen Cinta Romantis
SENSASI MURID BARU


Minggu pagi adalah hari yang paling disukain sama Tama, remaja laki-laki hampir dewasa ini ngabisin hari minggu dengan main musik. Kenapa dia ambil hari Minggu? Karena hanya hari Minggu lah jadwal dia yang kosong. Maklum, Tama anak kelas XII di SMA favorit di daerah Bogor.

Keseharian Tama di sekolah biasa aja, sama halnya seperti laki-laki yang lain. Hanya saja, Tama tipe laki-laki yang ga tertarik sama perempuan. Dia jutek sama perempuan, padahal kalo di bilang-bilang sih tampangnya imut juga. Tama pernah bilang ke temen-temennya bahwa “Kalo gue pacaran, itulah gadis yang gue pilih buat pendamping hidup gue seumur hidup. Sorry ya gue ga suka main-main sama cewe”. Itulah kata-kata mutiara yang Tama punya.
***

 Suatu hari di kelas Tama, ada murid baru perempuan bernama Tara. Tara itu tipe perempuan yang cukup care sama penampilannya. Pertama kali Tama melihat Tara, Tara memakai baju seragam seperti anak sekolah lainnya. Tapi, Tara memakai pernak-pernik yang menurut Tama terlihat berlebihan.

Bel istirahat berbunyi, entah setan apa yang masuk ke dalam pikiran Tama. Tanpa basa-basi lagi Tama menghampiri murid baru itu.
“Lo mau sekolah neng?”, Tanya Tama, prilakunya tersebut langsung menangkap perhatian temen-temen sekelasnya, khususnya bagi para cewe.
“Iya gue mau sekolah, ga usah ngajak ribut duluan deh! Lo siapa sih?”, bentak Tara.
“Ohhh, maaf. Gue salah”, ucap Tama ketus.
“Heyyyy, denger gue ya. Besok gue bakal ngerubah drastis penampilan gue. Liat aja!”
Karena kesal Tara langsung melepas pernak-pernik yang ia pakai di tangannya maupun yang menempel pada rambut panjangnya. Hari itu Tara memang apes banget, secara lah Tara murid baru di sekolah itu. Masa baru pertama kali masuk udah buat ribut? Ya lupakan saja soal itu. Masalanya Tara harus merubah penampilannya secara drastis besok. Kalo engga, wahhh siap-siap aja nerima malu dari si angry itu.

Begitu bel pulang sekolah berbunyi Tara langsung pergi berlari ke rumahnya, jarak rumahnya sama sekolahnya memang dekat. Cukup berjalan lima menit sudah sampai. Tiba di rumah, Tara membuang semua pernak-pernik keperempuanan yang dia punya. Dan dia kembali seperti dulu, yaitu Tara yang tomboy. Yaaa itulah penampilannya waktu dulu. Rambut emang boleh panjang, tapi penampilannya itu yang cowo banget. Baju kaos oblong, bawahan jeans, memakai sepatu kets warna coklat, dan menggendong tas ransel warna hitam yang isinya baju basket. Yaa, itulah Tara yang sebenarnya. Tara lebih cocok dan nyaman dengan penampilan seperti itu. Sebenarnya yang menyuruh Tara penampilan seperti cewe banget itu mamahnya. Tapi Tara ga nyaman, dan ditambah perkataan si angry itu yang membuat Tara semakin kesal dan panas.
***

Tiba di sekolah, sesampainya di kelas mata semua anak-anak tersorot sama penampilan baru Tara. Rambut panjang diikat satu, sepatu warna coklat - sejenis sepatu olah raga gitu, tas warna hitam, dan jaket coklat tanpa corak yang mencolok. Tapi sayangnya, Tama ga masuk sekolah. Itu juga kata temen sebangkunya Tama. Inilah lanjutan nasib buruk Tara. Sebenarnya, Tara ingin marah. Tapi malu dong, muka mau ditaro dimana nanti?

Beberapa lama kemudian, datanglah Tama. Dengan ekspresi wajah tertawa geli melihat penampilan muka kusut Tara.
“Gue tuh udah datang dari tadi pagi Tarrrr, makanya teliti dong. Gue tau rumah lo sekarang. hahaha”, sungguh aneh sikap Tama sekarang. Tama yang biasanya jutek abis ke cewe. Sekarang dengan gampangnya member sedikit perhatian dia kepada teman barunya itu.
“Oke. Kita belum kenalan, gue Tama dan lo Tara”
“Yaa, itu benar”
Kringg kring kringgg, akhirnya bel masuk bunyi juga. Itulah yang selama ini Tara nanti-nanti. Untuk menghindar dari Tama angry.
“Tam, lo naksir ya sama murid baru itu?”, Tanya Ikbal, teman sebangku Tama.
“Hhhhh, urusan nanti itu. Gampang lahhh. Tunggu aja tanggal mainnya boy”
***

Berbulan-bulan terus seperti itu, Tama ga nyangka ternyata perempuan yang udah dia malu-maluin di depan kelas, bisa jadi perempuan yang mungkin bisa nemenin dia seumur hidup. Karena Tama memang suka kepada Tara. Hari H nya pun datang. Kesempatan banget buat Tama, Tara lagi main basket sendirian di lapangan, kebetulan jam pelajaran emang udah bubar. Dan, Tama memang sengaja bawa gitar ke sekolah. Tunggu apa lagi? uuntuk pertamakalinya Tama akan menyatakan perasaannya kepada perempuan yang telah dia percaya dengan sebuah alunan musik. Karir Tama pun dimulai pada hari ini.

Suara gitar bergema dan bersatu padu dengan suara angin. Suara merdu Tama sempat membuat hari Tara kagum. Tapi Tara berfikir Tama emang lagi nyanyi-nyanyi sendiri. Dan pada akhirnya Tara teriak ”Tam, lo kenapa sih? Kalo mau nyanyi di kelas aja deh”
“Lo ga ngerti apa maksud gue Tar?”, Tanya Tama heran.
“Emang maksud kamu apa?”. Mendengar pertanyaan itu, Tama histeris berteriak, ya Tuhaannnn ini perempuan kenapa sih? Kira-kira dia tau ga yang namanya suka itu? Tama seakan menjerit didalm hari dan memgatakan itu semua.
“Taraaaaa, jangan sok ga ngerti deh. Gue tuh suka sama lo. Lo mau hidup bareng gue?”
“Apa? Sorry Tam, gue ga pernah pacaran. Waktu pertama kali gue masuk sekolah ini gue dadan cewe abis kan? Nah itu tuh biar gue punya pacar. Itu juga disuruh mamah gue”, jawab Tara. Mendengar penjelasan itu Tama ga ngerti apa maksud dari semua ini.
“Jadi gimana?”, Tanya Tama.
“Gatau deh, mungkin ga kali yaaaa. Eh, tapi tar dulu deh. Gue mau piker-pikir dulu. Dadah Tama gue pulang dulu yaa”. Langkah cepat Tara menandakan bahwa Tara gugup. Tama yakin, sebenarnya Tara tak mau pulang dulu. Tapi karena kejadian itu Tara jadi pulang. Kebetulan banget, anduknya Tara ketinggalan di lapangan basket. Ya dari pada diambil orang, lebih baik Tama anterin ke rumahnya Tara.
“Taraaaaaaaaaaaaaaa, ini gue Tama mau ngembaliin anduk lo yang ketinggalan”. Tara pun keluar dari rumahnya, dan segera mengambil anduk itu. “Makasih, gue mau jadi pacar lo Tam”, setelah mengucapkan kalimat itu Tara segera masuk ke dalam rumah, dan mengunci pintu rumahnya. Dipikiran Tama semuanya buyar, Tama tidak percaya itu.
***

Sebulan berlalu, Tara merasa Tama adalah cowo yang playboy. Padahal kata temen sebangkunya, Tama itu orang yang serius, tapi Tara tetep ngerasa Tama itu terlalu deket sama cewe. Ya mungkin karena Tara terlalu cemburuan. Tapi pada waktu tes speaking bahasa inggris, Tama menceritakan pengalaman ia bersama teman perempuannya. Saat Tama menceritakan pengalamannya itu dan menyebutkan nama cewe yang terlibat, semua anak-anak di kelas seretak teriak “Adeuhhhhhhhhhhhh”. Gila dong gimana perasaannya Tara saat itu, dia langsung malu abis sekaligus cemburu. Kenapa temen-temen sekelasnya tega ngomong kaya gitu? Sementara ada Tara disanan yang lagi nyimak Tama speaking. Dimu;ai dari kejadian itulah Tara sering melamun dan pasang wajah jutek ke Tama. Dan Tama pun ikut-ikutan marah.

Tama ga abis pikir bahwa Tara bisa tiba-tiba ngejutekin tanpa ngasih alas an yang jelas. Tama ngerasa lebih nyaman gaul sama anak perempuan lain ketimbang pacarnya sendiri. Saat ini dia telah mengetahui bahwa kehadiran sosok perempuan di mata laki-laki itu sangat lah berharga. Tama mulai emosi kepada Tara. Tanpa berfikir dua kali pranggggg kaca figura organigram kelas berhasil dipecahkannya dengan cara di tonjok. Tangannya berdarah cukup banyak, Tara melihat semua kejadian itu. Namun ia labih memilih dia, dari pada mendekati Tama, karena ia takut. Tara sadar semua ini salahnya, karena Tara tidak memberi tahu Tama tentang semua perasaan yang ia rasakan, tapi itu semua demi Tama. Tara ga mau Tama jadi terbatas lagi jika gaul sama perempuan. Tara rela jika saat itu dia menjadi kaca yang dipukul Tama.

Masih di kelas Tama dan Tara, Tama menyendiri di tangga depan koridor. Sedangkan Tara mengobrol dengan teman-teman sekelasnya. “Tarrrr, cepet keluar. Tanya Tama kenapa” ucap Fadli kepada Tra sambil menggeret Tara ketempat Tama menyendiri. Tara udah berdiri tepat di depan Tama dan memandang mata Tama, tapi Tama sama sekali tidak memberikan respon akan tatapan Tara. “Ngomongg tar cepet. Kalo engga Fadli bakal ngajatuhin diri”sambil berdiri di pembatas koridor bersiap untuk loncat kebawah. “Cepet Tarrr. Oke Fadli bakal loncat. Heh kamu! Rekamin gue ya. Satuuuu, duaaaaa tiiiiig”
“Iii iya iya gue ngomong”jawab Tara sambil teriak.
“Lo kenapa Tam?”satu kali Tara bertanya
“Tam?”dua kali Tara bertanya
“Tam? Kenapa sih?”dan sudah tiga kali Tara bertanya
Dan “Gue nanya, perlu gue ngelakuin gitu lagi?”tanya Tama ketus
“Ga, ke gua aja tonjoknya Tam, biar puas”jawab Tara
Seusai Tara melontarkan kalimat itu kepada Tama, Tama tidak lagi menjawab pertanyaan Tara. Dan Tara pun pergi ke kelas. Disaat Tara berjalan ke kelas, tangan Tara digenggam oleh seseorang, Tara gatau itu siapa. Saat dia balik ke belakang, dilihatnya adalah Tama dengan muka dingin. Ternyata tangan yang meenggenggam tangan Tara adalah Tama.
“Gue janji ga akan ngelakuin itu lagi Tar” kata Tama dengan suara yang lembut, beda seperti tadi.

Oleh : Dita Puspitasari
Diposkan oleh : Teddy Silvanus

Cerpen : BAHAGIA ITU SEDERHANA

Sabtu, 04 Juli 2015





Cerpen : 
BAHAGIA ITU SEDERHANA



Perasaan hangat saat merasakan rasa istimewa, melambungkan angan-anganku sejauh-jauhnya hingga tak terjamah lagi oleh mata manusia manapun. Keberanian menyeruak dari hati yang terdalam menepiskan rasa ragu atas perasaan yang tengah ku rasakan kini. Sejenak aku mencoba singgah dan saat itu juga aku tak mau pergi lagi. Masih tetap singgah walau mungkin tak terlihat. Hanya bisa menepi dan bersembunyi di balik dinding yang bernamakan kerahasiaan. Sungguh aku tahu hal ini tak mudah, namun aku sudah terlanjur terbawa arus atas sosoknya yang indah di pandanganku. Aku merasakan kebahagiaan. Bahagia yang sederhana ketika merasakan rasa istimewa.

Tetapi terkadang ada perih yang aku rasakan. Terkadang juga ada sedikit kebahagiaan yang aku dapatkan. Tinggal bagaimana aku bisa memaknai dan sampai sejauh mana aku sanggup bertahan akan perasaan tak terbalas ini. Aku hanya manusia yang memiliki hati dan kebetulan merasakan rasa istimewa pada manusia yang juga memiliki hati. Bedanya denganku, manusia yang bernama Diraz tak memiliki rasa istimewa pada manusia yang bernama Mikha. Kini aku terdampar di tengah lautan hatinya. Aku tenggelam dalam lembah perasaanku. Tak akan ada yang bisa membawaku ke daratan karena besarnya ombak cinta yang tengah menggulungku. Tapi sungguh aku merasakan bahagia. Bahagia itu sederhana ketika kita jatuh cinta.
***

“Aduh, sakit!” keluhku meringis saat kakiku bersenggolan dengan kursi di depanku.
Perlahan aku duduk dan memulai mengurut-urut kakiku yang terkena benturan kursi tadi. Gara-gara terpana melihat Diraz, kakiku merasakan nikmatnya bersentuhan dengan kursi. Pedih terasa di bagian kakiku, tapi aku merasa bahagia, masih bisa melihat Diraz hari ini.
“Nih kartu kuliahmu, Kha. Eh, kenapa kakimu diurut-urut seperti itu?” tanya Sonya mengamati tanganku yang menari-nari di atas kakiku.
Aku tersenyum menahan sakit, “Terbentur di kursi itu, Son.” kataku sambil menunjuk kursi di depanku.
“Kok bisa? Ada-ada saja kamu Mikha. Aku bantu mengurut kakimu ya.”
Beberapa menit kemudian setelah aku merasa kaki ini sudah cukup baikan, kami melangkah keluar ruangan dan menuju ke kantin untuk mengisi perut yang berontak meminta asupan energi. Lagi-lagi, sosok Diraz lewat di hadapanku. Kali ini aku berusaha untuk tidak tersandung kursi atau hal lain yang dapat menimbulkan kerugian pada anggota tubuhku. Sedikit gugup aku mencoba tenang membawa mangkuk yang berisi bakso favoritku ke salah satu meja yang telah ditempati Sonya. Begitu tampak kebencian di wajah Diraz saat dia tak sengaja menoleh ke arahku tadi. Aku tak tahu harus bagaimana, mau minta maaf tapi aku takut malah akan membuatnya marah
***

Hal rutin yang aku lakukan setiap pukul delapan malam adalah online lalu log in ke akun facebook. Kemudian membuka profil facebook Diraz. Hanya dengan melihat-lihatnya aku merasakan bahagia. Walau hampir setiap hari ketemu dan melihat Diraz karena kami selalu satu ruangan saat kuliah, aku tak pernah bosan melihat-lihat facebooknya sekedar ingin tahu keadaannya atau apa saja yang dia lakukan seharian ini dan tentu saja tak lupa melihat komentar-komentar dari setiap status yang dia tulis di sana. Sebenarnya sampai sekarang aku masih takut-takut untuk melihat-lihat profil facebook Diraz, takut jika ketahuan oleh orang lain. Maka dari itu aku hanya membuka profilnya jika sudah berada di rumah Sekarang aku tidak lagi menjadi teman akrabnya juga teman di akun facebook Diraz sejak kejadian dua minggu yang lalu. Diraz yang telah berhasil mencuri hatiku, dia juga yang berhasil membuatku merasakan malu yang cukup besar pada kejadian dua minggu yang lalu.
Aku termenung membaca komentar dari statusnya 15 menit yang lalu.
‘Maafkan aku, aku lakukan ini demi kebaikanmu’
Komentar:
Clarabela Assyifa : ‘Dimaafkan yank, :D’
Diraz Pranata : ‘Hahaa Bela.’
Clarabela Assyifa: ‘Kenapa ketawa yank?’
Bela memanggil Diraz “yank”? Apa benar gosip yang ku dengar beberapa hari yang lalu kalau Bela menyatakan cinta ke Diraz dan Diraz menerimanya. Tapi kenapa masih berstatus lajang, belum ada perubahan status hubungan di facebooknya Diraz jika mereka telah resmi jadian. Setetes air bening keluar dari mataku. Tak sengaja dan tak ku ingini. Aku menghapus air bening itu dari pelupuk mataku dan tersenyum. Mikha, kamu sudah terlanjur terdampar dan tenggelam di hatinya. Saat ini hanya ada satu yang bisa dilakukan. Ikhlas. Dengan begitu kamu akan merasa bahagia tanpa harus memiliki hati dan cintanya. Aku mengatakan kata-kata itu dalam hati guna menghibur diriku sendiri. Di depan laptopku yang masih menyala, aku melamun dan mengenang kembali kejadian dua minggu yang lalu. Kejadian yang tak bisa ku lupakan.
“Teman-teman, lihat nih. Si Mikha lagi membuka profil facebook Diraz loh!” teriak Bela sambil merebut laptopku.
Aku cemas dan berusaha merebut kembali laptop itu dari tangan Bela. Tapi, kerumunan teman-teman yang penasaran membuat aku kesulitan. Aku hanya terdiam. Tak berapa lama kemudian Diraz datang dan langsung diseret Bela untuk melihat laptopku.
“Mikha benar-benar menyukaimu Diraz. Coba cek saja di folder documentnya, foto-fotomu yang di facebook hampir semuanya didownload. Dasar cewek tak tahu malu,” caci Bela sambil memandang sinis padaku yang hanya bisa tertunduk pasrah.

Diraz melihat-lihat isi document di laptopku, wajahnya berubah ketika menemukan foto-fotonya ada di laptopku. Pandangannya beralih memperhatikan diriku yang berdiri kaku.

Tiba-tiba, gubraakk…!
Diraz memukul meja dengan keras hingga laptopku bergeser dan hampir terjatuh. “Hapus semua foto-fotoku! Jangan ganggu aku, aku tak sudi disukai oleh cewek sepertimu!” bentak Diraz emosi dan seketika melangkahkan kakinya menjauh. Bela tersenyum mengejek padaku kemudian menyusul Diraz yang sudah tak terlihat lagi.

Begitu ku sesali apa yang telah terjadi padaku waktu itu. Sungguh rasa malu sangat aku rasakan saat itu hingga sampai sekarang aku masih dihantui rasa malu dan bersalah. Aku tak berani lagi menatap Diraz secara langsung ataupun bertemu dia. Memang benar apa yang dikatakan Bela jika aku tak pantas untuk menyukai apalagi mencintai Diraz, cowok yang memiliki banyak kelebihan dan idola para gadis di kampusku. Jadi aku harus melupakan perasaanku pada Diraz. Namun, Sonya bilang padaku kalau rasa suka atau cinta itu adalah hak masing-masing manusia. Jadi sah-sah saja dan tak ada yang bisa melarang. Aku lebih memilih apa yang dikatakan Sonya karena memang aku tak sanggup membunuh perasaan ini. Aku akan berusaha agar perasaan ini terjaga dengan baik sehingga tak ada lagi seorang pun yang tahu.
***

Aku adalah makhluk biasa yang mempunyai rasa cinta pada seseorang. Sebenarnya memang tak salah jika kita mencintai seseorang. Tapi, kenapa Diraz sampai begitu benci padaku yang mencintainya. Sampai saat ini aku tak menemukan jawaban itu. Namun aku tak akan ambil pusing. Sudah cukup bagiku hanya merasakan cinta ini, mengagumi dari jauh dan yang terpenting Diraz bahagia dan baik-baik saja maka aku pun turut bahagia. Cinta tak bisa dipaksakan, cinta tak harus memiliki dan cinta tetaplah cinta yang hanya bisa dinilai oleh hati.
“Mikha, kamu baik-baik saja, kan? Dari tadi aku perhatikan dirimu melamun terus. Ada masalah sahabatku? Cerita saja!” ujar Sonya dengan suara pelan karena kami sedang kuliah dan dosen lagi memberikan penjelasan di depan dengan suara lantang.
Aku hanya menggeleng lalu tersenyum dan mengalihkan pandanganku ke sebelah kanan agak ke depan. Aku menatap sosok Diraz dari belakang.
“Ooh, aku tahu. Tentang Diraz ya? hehe, cerita saja sehabis kuliah nanti, Kha!” kata Sonya sambil mencubit gemas pipiku.
Hanya meringis yang bisa ku lakukan akibat cubitan Sonya. Sudah menjadi kebiasaannya mencubiti pipiku yang katanya buat gemas. Biasanya aku akan membalas mencubit pipinya juga, tapi aku ingat kondisi jika saat ini kami sedang mengikuti perkuliahan. Satu jam kemudian sang dosen telah meninggalkan ruangan. Aku mengambil botol minum dari dalam tasku dan meneguknya sedikit demi sedikit.
“Ayo donk cerita, cerita, cerita!” Sonya membalik kursi dan menghadapku. Wajahnya yang imut terlihat makin imut jika matanya memancarkan rasa penasaran.
Setelah Diraz dan teman-teman yang lain sudah pada keluar, aku menceritakan semua yang aku rasakan, aku yang tak bisa menghilangkan rasa istimewaku pada Diraz, aku yang bingung kenapa Diraz terlihat membenciku dan sangat terganggu jika aku mempunyai rasa suka padanya.
“Begitulah, Son. Aku hanya berharap saat ini Diraz, Bela dan teman-teman yang lain menyangka kalau aku sudah benar-benar melupakan Diraz dan tak lagi menyukainya,”
“Aku doakan itu Mikha. Kagum deh pada dirimu yang sanggup menghadapi perasaan seperti ini. Menyimpannya dan menahannya hingga sekarang. Aku akan bantu mencari tahu kenapa Diraz bersikap seperti itu padamu. Sahabatku ini kan gadis yang cantik, lucu, baik hati dan pintar pula. Bila dibandingkan dengan si Bela yang jahat itu, kamu lebih segalanya dari dia. Yakinlah kalau Diraz lebih memilihmu daripada Bela. Sebelum kejadian yang gara-gara Bela itu, Diraz kan baik-baik saja padamu seperti biasanya, duduk berdekatan dengan kita, masih ngobrol dan dia masih sering jahilin kamu. Mungkin ada sesuatu hal yang membuat Diraz berubah seolah membencimu terus-terusan Mikha,”

Pikiranku menerawang dan mencerna perkataan Sonya. Benar juga, sejak Diraz tahu kalau aku menyukainya itulah yang membuat sikapnya berubah dan membenciku. Sangat aku sesali tindakan Bela yang waktu itu membuatku malu dihadapan Diraz dan teman-teman kuliahku. Seandainya itu tak terjadi tentu sekarang aku masih bisa berteman dan dekat dengan Diraz. Aku merasa bangga bisa dekat dengan Diraz dibanding para cewek-cewek lainnya. Bela yang sudah lama menyukai Diraz saja tidak terlalu dekat. Malah Diraz pernah bilang jika dia agak risih dengan Bela yang agresif.
“Hanya dengan kamu aku merasa nyaman Mikha,” kata Diraz kira-kira sebulan yang lalu saat kami masih sebagai teman dekat.

Aku tersenyum mengingat kenangan yang kurang lebih sudah dua tahun kami lalui bersama, yang awalnya kenal karena masuk organisasi yang sama hingga menjalin pertemanan yang sangat akrab. Pada akhirnya aku merasakan jatuh cinta padanya sekitar enam bulan yang lalu. Rasa cinta itu hanya aku simpan dan berusaha tak ada yang tahu sekalipun pada Sonya, sahabatku dari SMA. Namun, tak ku sangka akan ketahuan oleh Bela yang tak suka padaku karena aku dekat dengan Diraz. Terjadilah hal yang aku takutkan, kenyataan bahwa aku telah jauh dari Diraz, seseorang yang aku cintai.

Selalu berusaha tak menangisi kenyataan ini. Toh, aku tetap merasakan bahagia. Cinta yang suci tanpa syarat akan selalu menciptakan kebahagiaan. Walau telah jauh dariku, aku masih bisa memandang sosoknya diam-diam, itu suatu kebahagiaan. Walau tak berkomunikasi dengannya lagi, aku masih tahu kegiatannya dari membaca di kronologi facebooknya, itu juga suatu kebahagiaan. Walau dia tak tersenyum lagi untukku tapi aku masih bisa melihat senyumnya saat dia tersenyum pada Sonya, itu pun suatu kebahagiaan. Walau seakan sikapnya padaku menunjukkan kebencian, aku masih bahagia karena itu berarti dia masih menganggapku ada. Bahagia itu sederhana ketika aku merasakan cinta pada seseorang. Cinta suci tanpa syarat dan tanpa mengharapkan apa-apa dari rasa cinta itu sendiri.
***

Aku mencari-cari Sonya karena aku tak melihat dia ada di ruang kuliah padahal tasnya sudah ada. Ku langkahkan kaki menuju halaman belakang kampus yang biasa jadi tempat bermain futsal. Ternyata Sonya ada di sana lagi duduk berdua dengan Diraz. Aku melangkah dengan diam-diam mendekati arah belakang mereka dan mendengarkan pembicaraan mereka.
“Jadi begitulah sebabnya Sonya kenapa aku marah sekali saat tahu Mikha benar-benar jatuh cinta padaku juga. Aku telah berusaha membunuh rasa cintaku padanya setelah tahu kenyataan pahit itu. Aku tak menyangka ternyata Mikha juga cinta padaku. Aku ingin marah, aku tak ingin takdir ini!” kata Diraz dengan terbata-terbata menjelaskan pada Sonya sambil menyeka matanya yang berair.
“Aku mengerti Diraz kenapa kamu bertindak seolah membenci Mikha, agar Mikha juga membencimu dan melupakanmu. Tapi, caramu tak berhasil karena Mikha tetap menyayangimu. Menurutku sebaiknya kamu bilang yang sebenarnya jika kamu terkena HIV, aku yakin Mikha mengerti dan tak akan memandang negatif terhadap dirimu,”

Air mataku jatuh perlahan, aku menangis mengetahui hal yang sebenarnya kenapa Diraz berubah sikap padaku. Ketahuilah Diraz, bagaimanapun kondisimu, aku akan tetap cinta kamu. Cukup hanya dengan mencintaimu aku bisa bahagia. Kapan pun dan bagaimana pun keadaannya, cinta yang tulus dan suci tanpa syarat akan mudah membawa kebahagiaan karena bahagia itu sederhana ketika merasakan rasa istimewa yang disebut cinta.

SELESAI

Oleh : Murni Oktarina
Diposkan oleh : Teddy Silvanus

Jumat, 03 Juli 2015

Cerpen : CINTA TAK BERTUAN

Jum'at, 03 Juli 2015





Cerpen  :
CINTA TAK BERTUAN


Sepanjang hidup, kita seolah tak berhenti berusaha menaklukkan cinta. Cinta harus satu, cinta tak boleh dua, cinta maksimal empat, dan seterusnya. Jika cinta matematis, pada angka berapakah ia pas dan pada angka berapakah ia bablas? Dan kita tak putus merumuskan cinta, padahal mungkin saja cinta yang merumuskan kita semua. Infinit merangkul yang finit. Hidup berpasangan katanya sesuai dengan alam, seperti buaya yang hidup monogami tapi ironisnya malah menjadi ikon ketidaksetiaan.

Namun terkadang kita melihat seekor jantan mengasuh sekian banyak betina sekaligus, berparade seperti rombongan sirkus. Dan itu pun ada di alam. Lalu ke mana manusia harus bercermin? Sebagaimana semua terpecah menjadi dua kutub dalam alam dualitas ini, terpecahlah mereka yang percaya cinta multipel pastilah sakit dan khianat dengan mereka yang percaya cinta bisa dibagi selama bijak dan bajik. Yang satu bicara hukum publik dan nurani, yang satu bicara hukum agama dan kisah hidup orang besar. Yang satu mengusung komisi anti itu-ini, yang satu menghadiahi piala poligami.

Merupakan tantangan setiap kita untuk meniti tali keseimbangan antara intuisi individu dan konsensus sosial. Sukar bagi kita untuk menentukan dasar neraca yang mensponsori segala pertimbangan kita: apakah ini urusan salah dan benar, atau sebetulnya cocok dan tak cocok? Jika urusannya yang pertama, selamanya kita terjebak dalam debat kusir karena setiap orang akan merasa yang paling benar. Jika urusannya yang kedua, masalah akan lebih cepat selesai.

Kecocokan saya bukan berarti kecocokan Anda, dan sebaliknya. Namun seperti yang kita amati dan alami, lebih sering kita memilih yang pertama agar berputar dalam debat yang tak kunjung selesai. Semalam, saya menerima sms massal yang mengatasnamakan ibu-ibu seluruh Indonesia yang mengungkapkan kekecewaannya pada seorang tokoh yang berpoligami. Pada malam yang sama, sahabat saya menelepon dan kami mengobrolkan konsep poliamori (hubungan cinta lebih dari satu). Alhasil, saya terbawa untuk merenungi beberapa hal sekaligus.

Pertama, orang yang kita kenal sebatas persona memang hanya kita miliki personanya saja. Persona adalah lapisan informasi paling rapuh, pengenalan paling dangkal, dan oleh karena itu paling cepat musnah. Orang yang tidak kita kenal paling gampang untuk dijustifikasi ketimbang orang yang kita kenal dekat.

Kedua, apakah monogami-poligami dan monoamori-poliamori ini adalah sekat-sekat tegas yang menentangkan nurani versus ego dan 'setia' versus 'buaya'? Mungkinkah dikotomi itu sesungguhnya proses cair yang senantiasa berubah sesuai tahapan yang dijalani seseorang, ketimbang karakteristik baku yang harus dipilih atau distigmakan sekali seumur hidup? Sungguh tidak mudah menjadi seseorang yang personanya diklaim sebagai milik umat banyak. Persona seperti secabik tisu yang dengan mudah dienyahkan, diganti dengan tisu baru lainnya yang dianggap lebih bagus dan benar. Banyak dari kita bermimpi dan berjuang mati-matian agar secabik diri kita dimiliki banyak orang.

Hidup demikian memang sepintas menyenangkan dan menguntungkan, meski konsekuensinya titian tali yang kita jalani semakin tipis. Ilmu keseimbangan kita harus terus diperdalam. Tali itu harus dijalani ekstra hati-hati. Tidak mudah juga menjadi seseorang yang sangat teguh berpegang pada persona orang lain, pada mereka yang dianggap tokoh, teladan, panutan. Status selebriti bisa ada karena persona yang dipabrikasi massal lewat media lalu 'selebaran'-nya menjumpai kita, dan kita pungut. Kita mengoleksi persona mereka seperti pemungut selebaran. Terkadang kita lupa, pengenalan dan pemahaman kita hanya sebatas iklan yang tertera. Oleh karenanya justifikasi yang kita lakukan seringnya bagai memecah air dengan batu; sementara dan percuma saja. Tak terasa efeknya bagi hidup kita, tak juga bagi hidup yang bersangkutan.

Kita yang kecewa barangkali bukan karena cinta telah diduakan. Cinta tak bertuan. Kitalah abdiabdi cinta, mengalir dalam arusnya. Persepsi kitalah yang telah diduakan. Lalu kita merasa sakit, kita merasa dikhianati. Namun tengoklah apa yang sungguh-sungguh kita pegang selama ini. Perlukah kita ikut berteriak jika yang kita punya hanyalah selebarannya saja, bukan barangnya? Barangkali ini momen tepat untuk mengevaluasi aneka selebaran yang telah kita kumpulkan dan kita percayai mati-matian. Betapa seringnya kita hanyut dalam kecewa, padahal persepsi kitalah yang dikecewakan. Betapa seringnya kita menyalahkan pihak lain, padahal ketakberdayaan kita sendirilah yang ingin kita salahkan. Apapun persepsi kita atas cinta, tak ada salahnya bersiap untuk senantiasa berubah. Jika hidup ini cair maka wadah hanyalah cara kita untuk memahami yang tak terpahami. Banyak cara untuk mewadahi air, finit mencoba merangkul infinit, tapi wadah bukan segalanya. Pelajaran yang dikandungnyalah yang tak berbatas dan selamanya tak bertuan, yang satu saat menghanyutkan dan melumerkan carik-carik selebaran yang kita puja. Siap tak siap, rela tak rela

Oleh : Dewi Lestari
Diposkan oleh : Teddy Silvanus

Cerpen Sahabat : DUA ORANG SAHABAT

Jum'at, 03 Juli 2015





Cerpen Sahabat : 
DUA ORANG SAHABAT


Seperti sudah dijanjikan, dua orang lelaki bertemu di jempatan beton dekat simpang tiga depan kantor pos. Yang satu kekar dan yang lain kurus. Keduanya sama mendekatkan arloji ke mata, seolah hendak tahu apa mereka tiba tepat waktu. Ketika itu malam belum lama tiba. Hujan yang turun sedari sore, tinggal renyai. Malam menjadi kian gelap dan lebih dingin hawanya. Salah seorang mengenakan mantel hujan. Yang lain bermantel plastik transparan. Kerah mantel- nya sama ditinggikan sampai menutup telinga. Kepala si ke- kar ditutupi oleh baret abu-abu. Si kurus oleh topi mantel. Sedangkan tangannya sama membenam jauh ke dalam saku celana. Mereka berjalan ke arah timur dengan setengah membungkuk, mengelakkan dingin dan tiupan angin malam. Tak seorangpun yang berbicara. 

Nyala lampu jalan yang bergoyang-goyang ditiup angin itu, redup cahayanya. Dibendung oleh kabut yang biasa turun di kota pegunungan itu. Jalan itu lengang seperti kota ditinggalkan penduduk karena ada ancaman bencana. Hanya bayangan kedua orang yang terangguk-angguk itu saja yang kelihatan. Ketika mereka sampai di suatu simpang, si kekar bertanya tanpa menoleh: "Kemana kita?" 

"Terserah kau." jawab si kurus gersang. 

Lalu yang kekar membelok ke kiri. Seperti itik jalan sekandang, si kurus juga membelok. Sekarang jalan yang mereka tempuh mendaki. Tapi mereka tidak melambatkan langkah. Sehingga mereka seperti tambah terbungkuk-bungkuk dan kepalanya sama terangguk pada setiap kaki dilangkahkan. Jalan itu lebih gelap oleh kerimbunan pohon-pohon di kiri- kanannya. Dan kaki mereka sering terperosok ke lobang di jalan aspal yang telah lama tidak diperbaiki. Keduanya dengan pikiran masing-masing. Hanya derapan sepatu yang solnya sudah lembab yang meningkahi nyanyian hewan malam. 

"Gila. Dia berani. Sekali aku pukul, pasti klenger." kata si kekar dalam hatinya. 

"Orang bertubuh besar, kekar, bangga dengan otot. Tapi tidak punya otak. Dan kalau kaya, sombong. Tidak punya perasaan." kata si kurus dalam hatinya juga. 

"Mengapa dia berani? Apa dia punya ilmu? Ilmu apa? Ah, ilmu. Kalau orang Indonesia punya ilmu, tidak akan bisa Belanda lama-lama menjajah negeri ini. Tapi dia ini punya ilmu apa?" kata si kekar lagi pada dirinya. 

"Homo homini lupus, kata Hobbes. Itu benar. Tapi tidak selamanya." kata si kurus. "Karena orang kecil punya otak. Harus cerdik. Sejarah mengatakannya begitu." kata si kurus masih dalam hati. 

"Aku pecah kepalanya sampai otaknya berderai. Biar bangkainya tahu, jangan coba-coba melawan aku." kata si kekar pula. 

Kini mereka melalui jalan yang mendatar sesudah membelok ke kanan lagi. Langkah mereka seperti tertegun ketika mulai melalui jalan yang datar itu. Napasnya sama menghem- bus panjang, bagai mau melepaskan hengahan payah. Lalu mereka melintasi jalan lebar yang bersimpang. Tiba-tiba sebuah jip militer datang dari arah kanan. Si kekar buru- buru menepi. Tapi si kurus tidak peduli. Dia tidak meng- hindar. "Kamu mau mati, hah?" bentak pengendera jip itu dengan iringan sumpah serapah. 

Si kurus berdiri sambil menatap ke arah jip yang lewat tidak lebih setengah meter darinya. Katanya dalam hati: "Sama saja watak kalian. Tidak beretika. Tidak bermoral." 

Rumah-rumah di kedua pinggir jalan itu sudah jarang le- taknya. Listrik belum sampai ke sana. Hanya cahaya lampu minyak mengintip dari celah dinding anyaman bambu. Rumah- rumah itu sunyi dan hitam. Sesunyi dan sehitam alam hingga ke puncak bukit. Sedangkan bukit itu terpampang bagai mau merahapi alam kecil di bawahnya. Tepat diatas perbatasan alam yang pekat itu, sesekali cahaya terang mengilat. Bukit itu bagai binatang merayap maha besar dalam kisah prasejarah. Mengerikan nampaknya. 

Tiba-tiba pintu rumah di pinggir kiri jalan terbuka. 

Cahaya lampu minyak melompat keluar. Masuk ke gelap malam. Kepala seorang perempuan menjulur. Dia memandang lama ke- pada kedua laki-laki itu. Laki-laki itu juga memandangnya. 

Ketika lelaki itu berjalan terus, kepala perempuan itu lenyap lagi ke balik pintu sambil menggerutu. "Sialan. 

Bukan mereka." 

Dan perempuan lain di dalam rumah cekikikan ketawa. Lalu hilang karena pintu ditutup lagi. Cahaya lampu yang menjilat malam itu pun lenyap bersamanya. Renyai tidak turun lagi. 

"Kurang ajar. Berani bilang aku sialan. Kalau aku mau perempuan bukan ke seni aku, tahu?" kata si kekar masih dalam hatinya. 

"Perempuan pemilik daging sewaan ini, sama saja dengan pemilik otot. Sama tidak punya etika, tidak punya moral." gerutu si kurus. 

Kemudian mereka tiba lagi di sebuah simpang. Jalan be- sar yang mereka tempuh membelok ke kiri. Tapi mereka me- neruskan arahnya, melalui jalan kecil tanpa aspal. Kerikil besar-kecil berserakan menutupnya. Gemercakan bunyinya di- pijaki. Dekat di kiri kanan jalan meliuk-liuk daun pisang ditiup angin. Berkepakan bunyinya menyela desauan angin yang meniup dan nyanyian jengkrik. Bukit menghempang di hadapan mereka hilang timbul disela daun pisang itu. La- ngit yang memberikan kilatan, juga mengintip dicelahnya. "Tak kusangka aku ke sini di malam seperti ini." si kekar berkata dalam hatinya lagi. "Mengapa aku mesti ke sini? Seumur-umurku belum pernah aku ke sini. Jangkankan malam. Siang pun belum. Gila benar." 

"Orang kuat, orang kaya, itu maunya takdir. Jika enggan menghormati kaum jelata, hormatilah takdir. Kalau mereka tidak mau, lawan takdir itu. Takut melawan, terinjak terus. Kalau melawan, gunakan otak. Akali. Kalah menang juga takdir." kata si kurus masih dalam hatinya. 

Tiba-tiba keduanya sama terkejut. Langkah mereka sama terhenti, sambil dengan hati-hati mengawasi sesuatu yang melintas cepat di depan mereka. Rupanya seekor musang. 

Berdesauan suara perlandaan badannya dengan dedaunan di semak itu. 

"Huss, musang. Bikin kaget orang. Nantilah, aku bawa bedil ke sini. Boleh kamu tahu rasa." kata si kekar. 

"Bagi kamu musang, selalu ada sekandang ayam untuk kamu terkam. Apalah daya ayam karena sudah takdirnya begitu. Kata Hobbes hanya cocok untuk binatang. Manusia yang bina- tang, ya, sama. Tapi aku manusia. Manusia yang manusia. Kalau kuat, ya, jangan menindas. Kalau tidak mau melawan, jadi ayamlah kamu." kata si kurus lagi. 

Keduanya terus melangkah juga. Tapi lebih lambat. Si kekar seperti mencari-cari sesuatu. "Orang kurus seperti kamu, sekali tetak, lehermu patah. Berhari-hari kemudian orang akan mencari bau bangkai membusuk ke sini. Bangkai itu, bangkai kamu. Karena itu jangan sekali-kali menentang 

orang kuat." kata si kekar lagi. Masih dalam hati. Dia lebih memperlambat langkahnya seperti dia merasa sudah sampai ke tempat yang ditujunya. Dan memang tak lama kemudian mereka sampai ke suatu padang luas yang membujur di sepanjang kaki bukit di kejauhan itu. Tiada pohon tumbuh disitu. Selain belukar menyemak. Dulunya padang itu tempat serdadu Belanda, sorja Jepang dan tentara revolusi latihan menembak. Di sana Jepang juga memenggal nyawa orang yang dituduh pengkhianat. Tentera revolusi pun meniru gurunya yang sorja Jepang. Sehingga padang itu menumbuhkan fantasi yang menegakkan bulu roma setiap orang. 


Orang-orang tawanan yang akan dibawa ke situ, sudah ke- jang duluan oleh ketakutan atau cepat-cepat berdoa dengan seribu cara. Dan kini padang luas yang sunyi dan menimbulkan fantasi seram itu, di malam berenyai, dingin dan pekam, didatangi oleh dua lelaki. Dan padang itu, seperti biasa menanti dan menyaksikan orang-orang yang dipenggal lehernya atau ditembak mati tanpa peduli perasaan si kor- ban. Padang itupun sunyi menerima kedatangan kedua laki- laki itu. Bersikap masa bodoh terhadap segala apa yang di- lakukan oleh manusia terhadap sesamanya. Seolah-olah berkata: "Hai manusia, silakan kalian saling bunuh." Tapi arwah manusia yang dibunuh tanpa kerelaan, sehingga menumbuhkan fantasi yang menghantu, seperti tidak menyentuh hati kedua lelaki yang mendatanginya di malam itu. 

"Dia mau menjagal aku, seperti yang dilakukan serdadu-serdadu itu." kata si kurus dalam hatinya. 

"Kalau dia sampai mati aku gampar, orang akan menanyai aku. Polisi akan menangkap aku. Matilah aku. Sialnya ini orang mau ke sini." kata si kekar menggerutu pada dirinya. "Kalau aku dipenjarakan, akan apa perasaan isteriku. Kalau aku dikuhum mati? Bajingan-bajingan akan memburu istriku yang muda, cantik dan kaya oleh warisanku. Sialan". 

Cahaya kilat memancar juga jauh tinggi dilangit, tanpa tenaga menembusi gelap dan kesepian padang itu. Dan sese- kali angin meniup agak keras, hingga daunan kayu bergoyangan menjatuhkan pautan tetesan air padanya. Gegap berde- sauan bunyinya, bagai teriakan prajurit yang kemasukan semangat mau mati yang bernyala dan haus darah. 

Si kekar mendongakkan kepalanya seraya memandang sekeliling alam di padang itu. Lalu katanya seraya menghenti- kan langkahnya, "Di sini saja." 

Si kurus pun menghentikan langkahnya. Masih menekur juga dia. Keduanya kini tegak berhadapan, seperti dua orang yang mau mengatakan sesuatu yang lama sudah disimpan. 

"Mestinya dia ini tidak perlu aku bawa ke sini. Aku cari saja preman. Suruh ajar dia ini. Habis perkara." kata si kekar. "Sialnya aku lancang mulut mengajaknya berduel malam ini." 

Cahaya kilat memancar lagi. Jauh di balik bukit sebe- rang ngarai yang lebar itu. Redup, seperti tak bertenaga. Lalu kata si kekar dengan suara redup seperti kilat itu: 

"Tak pernah selama ini aku mengangankan datang kemari ber- samamu. Apalagi malam begini. Nyatanya kita kemari juga. 

Kau tahu mengapa?" 

Si kurus mengangkat kepalanya, seraya memandang ke arah kepala si kekar. Lalu katanya dengan suara yang gersang. 

"Maumu 'kan?" Tapi dalam hatinya dia berkata: "Kau tahu kau kekar dan kuat. Kau jadi berani membawa aku ke sini. Tapi aku punya harga diri. Sekali aku kecut, seumur hidup aku kau dilecehkan." 

Keduanya terdiam ketika angin bertiup rada kencang. Bersoraklah lagi dedaunan menggugurkan tetesan sisa air yang bergantungan padanya. 

"Kita telah bersahabat sejak SMP. Berapa lama itu? Kau ingat? Lebih dua puluh tahun." si kekar memulai bicara sebagai awal pembicaraan yang panjang dengan mengingatkan segala apa yang telah diberikannya kepada si kurus selama mereka bersahabat kental. Nadanya membanggakan kelebihan- nya dan melecehkan si kurus dengan kalimat sindiran. 

"Sekali hari kau kenalkan Nita padaku. Katamu, temanmu. Aku naksir dia. Aku lamar dia pada orang tuanya. Lalu kami kawin. Sejak itu kau berobah. Mana aku tahu Nita pacarmu." kata si kekar. 

"Kalau kapal suka berobah arah ke mana angin kencang bertiup, lebih baik tidak menompangnya. Tapi ini bukan soal Nita. Ini soal harga diri yang selalu kau lecehkan" kata si kurus. Masih dalam hatinya. 

"Kau kira aku cemburu kalau Nita kemudian dekat padamu? Tidak. Aku tidak cemburu. Karena aku tahu siapa aku, siapa Nita, siapa kau." kata si kekar. Kemudian dengan nada yang tegar dia melanjutkan: 
"Kalau kau mau ambil dia, ambil. Tinggalkan kota ini. Aku tidak suka dilecehkan." Dia mencoba meneliti wajah si kurus. Namun gelap malam menghalangi penglihatannya. Cahaya kilat tak membantu ka- rena terlalu jauh di langit sebelah barat. Angin masih se- bentar-sebentar menggoyangi dedaunan di ujung ranting. 

"Kau tidak peduli kapalmu rindu pada teluk yang dalam, ombak yang tenang. Itulah macam manusianya kamu. Seperti raja-raja dahulu kala. Semua yang berada di bawah kuasamu, kamu pikir dapat diperjual-belikan. Siapa mau dan tahan diperlakukan begitu terus-menerus?" kata si kurus dalam hatinya juga. 

"Sekarang, kita berada disini, di padang yang luas ini, di malam sehabis hujan turun, dimana kilat masih sabung- bersabungan. Namun dalam hati kecilku aku menyesali kehadiran kita disini. Aku merasa konyol. Tapi.....kalau tidak dengan cara begini menyelesaikan persoalan kita, hi- langlah harga diriku." kata si kekar dengan gaya orang partai yang mencoba menumbuhkan kesan kagum yang diharap- kannya. Tapi si kurus masih tidak menanggapi. Dia masih bersikap seperti tadi, berdiri tanpa peduli. 

"Betul-betul sudah pekat hatimu menantang aku secara jantan?" kata si kekar. 

Si kurus tak menyahut. Tapi kepalanya tak menekur lagi. Tegaknya seperti menantang. 

"Sekali lagi aku tanya, Apa hatimu sudah pekat?" 

"Kau kira apa?" kata si kurus seraya menyurutkan sebelah kakinya selangkah. 

Si kekar membuka mantel hujannya tenang-tenang. Disam- kutkannya pada ranting belukar beberapa langkah dari tem- patnya. Sambil melangkah digulungnya lengan panjang keme- janya. Selesai yang kiri, lalu yang kanan. Juga dengan tenang. Tapi ketika dilihatnya si kurus masih terpaku pada tempatnya berdiri, dia berkata lagi, "Mengapa tak kau buka mantelmu? Kau menyesal?" 

"Apa pedulimu?" 

"Baik." kata si kekar sambil menyelesaikan menggulung lengan kemejanya. Kemudian dia kepalkan tinjunya sambil menyurutkan langkah selangkah. Siap untuk berkelahi. Tiba- tiba dia lihat sesuatu yang berkilat di tangan si kurus. "Apa itu?" tanyanya. 

"Pisau," jawab si kurus tegas. 

"Oh. Kau berpisau? Itu curang namanya." kata si kekar seraya menyurutkan kakinya selangkah lagi. 

Tak ada jawab si kurus. 

"Kalau kau main curang, buat apa kejantanan? Aku tidak mau berduel dengan orang curang." kata si kekar. 

"Kencing kau." carut si kurus untuk menghina. 

Si kekar kehilangan nyali. "Kalau aku tahu kau bawa pisau ......." 

Dan angin bertiup lagi. Dedaunan berdesauan pula. Kini seperti bersorak girang atas kemenangan orang kecil atas keangkuhan orang besar.


Lama kemudian si kekar berkata lagi, tapi dengan suara yang kendor. "Aku orang terdidik. Terpandang pada mata ma- syarakat. Aku tidak mau mati terbunuh oleh sahabat karib- ku sendiri. Tak aku sangka, kau mau membunuhku." 

"Mestinya aku ludahi wajahmu. Tapi apa gunanya menghina orang yang kalah?" kata si kurus dalam hati. Seketika ada pikiran yang mengganggunya, bagaimana kalau si kekar jadi pemenang. "Pasti seperti pemenang pada perang saudara." 

"Maksudku, hanya ingin menyelesaikan persoalan antara kita. Bukan untuk berbunuh-bunuhan. Karena kita berhabat karib." kata si kekar dengan suara lirih. 

Si kurus membalikkan badannya. Lalu melangkah ke arah mereka datang tadi. Tidak tergesa-gesa. Juga tidak pelan. 

"Tunggu. Tunggu aku." seru si kekar. Karena si kurus terus menjauh, dia mengikuti dengan langkah panjang-panjang. "Jangan kau salah mengerti. Sebenarnya aku tidak hendak berkelahi. Apalagi dengan kau." katanya setelah dekat. 

Si kurus tidak menjawab. Dia terus berjalan tanpa mem- lambatkan langkah. Si kekar terus juga bicara tentang pe- nyesalannya mengajak si kurus ke tempat yang sepi itu. Kemudian katanya: "Aku minta maaf sebesar-besar maafmu. 

Kau mau, bukan?" Karena si kurus terus tidak berkata, di pegangnya tangan si kurus. Tapi si kurus merenggutkan tangannnya dari pegangan itu. Terperengah berdiri si kekar beberapa saat. 

Angin malam terasa bertiup lagi. Dedaunan pohon ping- gir jalan itu mendesau seketika. Si kekar melangkah cepat, lebih cepat dari langkah si kurus. Setelah beberapa langkah mendahului, dia berdiri dan menanti si kurus mendekat. 

Didekapnya kedua telapak tangannya di bawah dagunya se- perti patung Budha. Lalu katanya memelas: "Aku minta sung- guh, jangan kau ceritakan peristiwa ini kepada siapapun. Hancur harga diriku. Akan apa kata Nita, kalau dia tahu? 

Hancur aku. Hancur." 

Si kurus terus melangkah. Si kekar terus menghadang dengan langkah mundur. Tanpa merobah letak kedua tangan, si kekar berkata lagi: "Apapun yang kau minta akan aku beri, asal kau tidak ceritakan kepada siapapun. Habis aku. Hancur harga diriku. Katakan apa yang kau mau. Kalau kau mau Nita, ambillah. Aku ikhlas." 

Tiba-tiba dia berhenti. Dia ingat mantelnya tergantung pada ranting belukar. Tergesa-gesa dia kembali untuk mengambilnya. Tergesa-gesa pula dia mengenakan mantel serta mengancingkannya. Sedangkan matanya terus juga memandang si kurus yang kian menjauh dan kian hilang dalam gelap ma- lam. Dia berlari mengejar sambil memangil-manggil nama si kurus dan minta si kurus menunggu. Ketika sampai di tempat mereka berpisah tadi, si kekar berhenti. Dia memandang berkeliling mencari dimana si kurus berada. Tidak siapapun terlihat, selain gelap malam. Bulu romanya merinding. Sambil berlari kencang, dia memanggil nama si kurus keras-keras. "Dali, tunggu. Dali, tunggu. Jangan tinggalkan aku. Daliiii." 

Si kurus keluar dari persembunyiannya di belukar, setelah suara si kekar tidak terdengar lagi. Dia bersembunyi karena enggan berjalan seiring dengan sahabat lama yang sudah jadi bekas sahabat.

Oleh : AA. Navis
Diposkan oleh : Teddy Silvanus