Senin, 06 Juli 2015

Cerpen Cinta Romantis SENYUMMU

Senin, 06 Juli 2015





Cerpen Cinta Romantis
SENYUMMU



Hari Sabtu yang cerah, tepatnya hari ulang tahun salah seorang sahabat Karin, yaitu Rian. Hari itu Karin berniat untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepada Rian. Karin adalah remaja putri manis berkulit sawo matang dan berambut panjang berwarna hitam pekat. Semetara Rian yag memiliki kulit putih, berkacamata dan memiliki lesug pipit. Karin pun mengucapkan selamat ulang tahun itu melalui via sms.

Berlama-lama Karin menunggu balasan dari Riani untuknya, karena ia tidak sabar akhirnya ia pun menelepon Rian. Tuttt tuttt tuttt beberapa kali suara itu terdengan di telinga Karin, setelah beberapa lama kemudian “Hallo”, terdengar suara lembut dari seorang wanita yang mengangkat telepon itu.
“Bisa bicara dengan Rian? Ini saya Karin”, ucap Karin
“Oh Karin. Tunggu sebentar ya“ Ternyata itu adalah suara dari ibunda Rian,
“Karin maaf, Riannya tidak mau bicara. Katanya dia malu, Rian sedang sakit”.
“Oh gitu ya tante, makasih deh. Semoga Rian cepat sembuh ya”,
“Iya Karin, terimakasih”.
Hanya keheningan di ruang tengah rumahnya yang bisa dirasakan Karin saat mendengar kabar itu. Memang benar Karin dan Rian sudah berteman lama sejak mereka duduk dibangku Sekolah Dasar. Tiba-tiba handphone Karin pun bergetar tanda sms masuk. Yang Karin harapkan hanyalah balasan sms dari Rian, namun itu adalah sebuah sms dari Mimi, yaitu teman baik Karin. Ka, Aji kecelakaan motor . Kakinya patah, sekarang di rawat di rumah sakit.

Begitu Karin membaca sms itu, dia tidak tahu harus berbuat apa. Sungguh tragis apa yang dia alami pada hari itu. Aji adalah sahabat karib Karin yang memiliki postur tubuh yang tinggi dan kulit yag berwarna cukup gelap karena Aji adalah seorag pemain basket, mungkin Karin telah menganggap Aji sebagai kakak sendiri, padahal umurnya pun lebih muda Aji. Meskipun hanya berbeda beberapa bulan saja Karin tetap menganggap Aji adalah kakaknya. Aji selalu menjaga Karin, entah apa yang dia maksud. Tapi disetiap kondisi apapun Aji selalu memperhatikan Karin. Sewaktu masih duduk di Sekolah Dasar mereka berdua memang sekelas, ditempat les pun mereka bersama, orang tua mereka pun kenal akrab. Ya jadi mereka berdua memang seperti saudara saja.

Setelah mendengar kabar itu Karin langsung memberi tahu ibunya dengan tergesa-gesa. Akhirnya, Karin membuat rencana dengan teman-temannya untuk menjenguk Aji pada keesokan harinya. Karin sangat senang karena akan menjenguk salah satu sahabatnya itu. Namun, saat pikirannya kosong Karin bingung, saat dia telah melihat kondisi Aji apa yang akan dia sampaikan kepada Aji, apakah dia harus memarahi Aji kah agar tidak mengebdarai motor dengan ceroboh? Ataukah ia harus berdiam diri? Itulah yang membuat Karin bimbang. Entah perasaan apa yang sedang ia rasakan.

Karena hatinya memang lagi ga bisa tenang, Karin pun mencoba mengirimkan sms kepada Aji yang sangat singkat, Ji,

Dua suku kata yang memberikan harapan kepada Karin bahwa Aji telah siuman. Namun, sudah lama ia menatap handphone-nya itu tetapi tidak ada satu pesan pun yang masuk. Dengan perasaan tidak begitu yakin dan hanya bisa berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja, Karin pun pergi untuk tidur.
***

Esok pun tiba, segera Karin bersiap untuk menjenguk Aji. Dengan semangat sambil bingung berfikir bagaimana keadaan Aji sekarang Karin bersiap. Lalu Karin pergi ke tempat yang biasa ia datangi ketika berkumpul dengan teman-teman Sekolah Dasarnya. Taman kompleks yang penuh bunga, dan banyak juga pedangang disana. Tempat yang memang sederhana, namun begitu banyak meninggalkan kesan yang teramat dalam. Tempat dimana semua kebahagiaan dan semua kesedisan dapat berpadu menjadi satu. Akhirnya Karin sampai di tempat itu. Disana, teman-temannya sudah berkumpul.

“Ka, katanya Aji udah pulang ke rumahnya”, ucap Mimi. Begitu Karin mendengar itu, sungguh kata syukur yang dia bisa ucapkan. Dan dia pun telah bisa mengambil kesimpulan bahwa keadaan Aji sudah membaik. Tanpa banyak bincang-bincang lagi Karin dan teman-temannya pergi ke rumah Aji.

Rumah sederhana yang harmonis dan terkesan seperti rumah di dongeng-dongeng, dengan halaman yang tidak terlalu luas tapi banyak ditanami pohon dan berbagai macam bunga, itulah yang menjadi seseorang nyaman berada di rumah Aji. Ruangan depan yang luas, berpadu dengan sebuah TV, foto-foto yang menggatung di tembok maupun yang berdiri di meja, dan sebuah kasur yang tergeletak di lantai tempat Aji berbaring dengan kondisi yang menurut Karin cukup sadis. Di ruangan itu, Karin dan teman-temannya berkumpul bersama Aji yang masih terbaring lemas. Namun, ada satu sisi yang membuat Karin terkesan kepada sahabatnya itu, meskipun Aji mengalami kondisi seperti itu tetapi Aji masih bisa tertawa seperti tidak merasakan sakit akan patah tulang yang ia derita. Dia orang yang tegar. Meskipun kaki kiri nya dibalut oleh perban Aji tetap seperti biasa, seperti tidak terjadi apa-apa. Tidak ada keluhan yang ia sampaikan kepada Karin. Karin sangat terkesan akan hal itu. Saat pertama kali Karin datang menghampiri Aji, dengan memaksa Aji langsung memeluk Karin dengan posisi duduk.
“Gue kangen sama lo Ka”, bisik Aji
“Iyaaa gue tau. Ji, sakit ga sih?” ucap Karin penasaran, sekaligus mengalihkan pembicaraan,
“Engga tuh, biasa aja. Kan ada kamu, hehehe”
“Ngegombal aja lu, pentingin tuh kondisi lo dulu”
“So pahlawan banget sih pake nasehati gua segala”
“Yaaaaaa, gue mau jadi pahlawan lo selama elo sakit. Hahaha”
“Okelaaaaa gapapa, toh gue ga rugi ko”
“Ihhhhh salah ngomong lagi kan. Yaudah cepet sembuh lu, biar gue bisa pensiun”
“Aminn, udah itu gue aja ya yang jadi pahlawan elo?”
“Hahahahaha kacauu. Yaa boleh deh”
Alangkah terharunya Karin melihat wajah Aji yang terlihat tanpa beban itu. Karin berharap, dirinya akan selalu bisa menyenangkan hati Aji.

Setelah beberapa lama berbincang di rumah Aji, Karin dan teman-temannya pulang. Berat hati Karin pergi melangkah dari rumah itu. Senyuman dari Aji untuknya adalah sebuah jawaban untuk Karin bahwa Aji akan bai-baik saja.

Salam pamit teman-temannya kepada ibunda Aji merupakan tanda teman-temannya sudah pergi pulang khususnya Karin sudah tidak ada disini. “Semoga gue cepet sembuh. Gue pingin ngajak lo ke sebuah tempat untuk ngebales apa yang udah lo lakuin ke gue selama ini, Karin” bisik Aji dengan nada rendah, anggaplah itu sebuah janjinya kepada Karin.
***

Karinnnn? Lo dimana? Mana ya pahlawan gue? Sebuah pesan singkat yang diterima Karin dari Aji pada keesokan harinya. Hanya senyum geli yang terpancar pada muka Karin saat membaca pesan itu. Apaaaaaaa? Dasar manja, ga usah so jadi anak kecil deh! Balas Karin untuk pesan singkat yang dikirimkan Aji padanya. Seharian Karin dan Aji balas-membalas pesan singkat. Dan pada malam hari itu semua ditutup atas permintaan Karin karena matanya sudah mulai mengantuk. Jiiii, ngantuk nihhhh. Udah dongggg, gue capeeee nihhhh, cape perut sama cape tangannnn pinta Karin kepada Aji. Yaudah, kamu istirahat sana besok sekolah kan? Gua mah kaga sihh, hehe. Dadah Kaka mimpi in gua yaaa, hehe. Begitu membaca pesan singkat dari Aji itu, Karin tersenyum kecil dan tertidur.

Bel istirahat berbunyi, lima pesan singkat masuk di handphone Karin dan semuanya dari Aji dan isinya pun sama menanyakan tentang keadaan Karin. Apaaaa sih Ji? Gua baru istirahat. Gua baik-baik aja Ji. Beberapa lama kemudian setelah Karin mengirimkan pesan itu kepada Aji, Karin menerima balasan. Ia langsung ternganga begitu membaca pesan dari Aji. Oh maaf deh, tapi tau ga? Sama dokter kaki gua dibungkus pake pipa dongg! Wah ga pengalaman banget dokternya, emang kaki gue air apa? Itulah balasan dari Aji kepada Karin, kata-kata konyol Aji yang memang khas punya Aji membuat Karin tertawa sendiri. Lo yang bodo itu mah, itu bukan pipa. Itu tuh dipasang ke kaki lo biar tulangnya ga ngegeser-geser lagi Ji. Yang buat air mah bukan pipa tapi paralon. Hahahaha, anak SMA masih kaya gini. Begitu bel masuk berbunyi mereka berdua berhenti berkomunikasi.

Akhinya Karin tiba di rumah. Dan terkejut mendapat pesan dari Aji Kakaaaa, udah punya seseorang belummm? Apa maksud Aji mengirimkan sebuah pesan seperti itu? Karin tidak membalas pesan yang dikirimkan Aji kepadanya. Tiba-tiba datang sebuah pesan baru Kakaaa, gue sayang sama lo. Gue mau jadi pacar elo. Lo mau?

Degggg jantung Karin berdetak keras tanda ia kaget. Ia tak percaya bahwa Aji akan mengirimkan pesan seperti itu. Sesungguhnya Karin memiliki rasa khusus kepada Aji, ia ingin bersama. Tapi Karin berfikir, apakah ia sanggup jika berbeda sekolah. Tapi, jika itu memang cinta mereka pasti bisa karena cinta yang membuat semuanya begitu. Akhirnya mereka berdua menjalin hubungan.
***

Setahun berlalu, hubungan mereka tidak seperti biasanya. Terasa ada yang mengganjal dibenak Aji tanpa mengerti dan paham apa yang sebenarnya terjadi. Begitu pun Karin, ia merasakan jenuh. Ia tak tau harus berbuat apa, Karin tidak tahan kepada sikap Aji yang posesif. Ada niat untuk mengakhiri hubungan itu, namun Karin tidak tega. Dan ia hanya memilih menunggu Aji saja yang mengakhiri hubungan ini terlebih dahulu.

Sebenarnya mereka berpacaran tanpa ada orang yang tahu, entah mengapa Aji yang meminta itu kepada Karin saat pertama jadian. Tapi lama kelamaan, teman dekat Karin yaitu Mimi mengetahui hal tersebut. Tapi sayangnya setelah teman-teman Karin dan Aji mengetahui tentang hubungan spesial yang dimiliki Karin dan Aji, mereka berdua lost contact. Dan tibalah saatnya, Aji mengakhiri hubungan tersebut dengan alasan dia lebih nyaman menjadi sahabat Karin. Ya memang Karin menunggu akan hal itu. Tapi, mengapa saat Karin bisa memahami dan lebih menyayangi Aji, Aji malah pergi? Dan akhirnya mereka berdua berstatus seperti dulu lagi. Yaitu sahabat.

Setelah kejadian itu mereka berdua tidak saling berkomunikasi, malah sepertinya Aji membenci Karin. Sampai saatnya Karin mengirimkan pesan singkat kepada Aji, Ji, kamu kenapa sihh? Gue pingin kaya dulu lagi, apa salah gue? Namun pesan itu tidak dibalas oleh Aji.

Sudah dua tahun lamanya mereka seperti itu, seperti orang yang belum saling kenal. Karena Karin tidak tahan kondisi itu akhirnya dia pergi ke rumah Aji untuk memiinta penjelasan kepadanya. Namun ketika Karin tiba di depan rumah Aji yang dia lihat hanyalah rumah bertingkat dua dengan nuansa sepi, bercat ungu muda, dan sepertinya baru saja dibangun. Karena Karin sudah negative thinking duluan akhirnya ia menanyakan kepenasaranannya itu kepada warga yang ada disekitar kompleks rumah itu. Syukurnya Karin bertemu dengan teman SDnya yaitu Yuki. Setelah lama berbincang dengan Yuki akhirnya Karin bertanya.
“Yu, rumah Aji ko gini sih?” Tanya Karin.
“Oh itu, soalnya Aji pindah rumah. Tapi gue kurang tau dia pindah kemana Ka”
“Gitu yaaa, ko dia ga bilang-bilang ke gue sih?”
“Yaaa itu mah gue juga gatau Ka, kenapa sih? Ko lo pengen banget ketemu sama dia? Padahal waktu SD kalian paling jago kalo berantem”
“Ahhh, itu ma gampang tar aja kalo gue udah damai sama dia, yaudah deh makasih infonya. Dadahhhh”, sambil berlari Karin berkata seperti itu.
“Ihhh tu anak ga rubah-rubah”, kata Yuki dengan ketus.
***

Setelah apa yang Karin ketahui, dia semakin bingung dengan kedaan yang sekarang. Lagi bingung-bingungnya Karin dengan keadaan, ibunya meminta Karin menemani pergi ke sebuah supermarket.
Sesampainya disana, Karin terkejut dengan perkataan ibunya,
“Kaka, itu temen mu yang tadi barusan lewat. Kalo ibu ga lupa namanya Aji kan?”
“Manaaaa?”, sambil melihat kearah kiri dan kanan, dan di arah kanan memang benar ada Aji sedang memilih-milih makanan. Namun saat Karin ingin mengejarnya, Aji malah pergi menjauh. Tanpa basa basi lagi Karin langsung mengejar Aji, ya pastinya Karin memberitahu ibunya terlebih dahulu.
“Ajiiiii!“, teriakan Karin tanpa rasa malu itu membuat laki-laki yang dia maksud mengalihkan perhatiannya kepada Karin. Namun saat Aji tau yang memanggil adalah Karin dengan suara streo khas Karin, Aji langsung pergi. Hal itu membuat Karin makin bertanya-tanya ada apa sebenarnya, namun Karin tidak mengejar Aji lagi, dia lebih memilih mencari ibunya.
***

Sesampainya di rumah, Karin masih terpikir hal tersebut. Namun, sungguh dia sangat bahagia bisa melihat Aji secara langsung. Banyak perubahan yang terjadi kepada Aji, dia lebih tinggi dan pipinya sedikit berisi, dan tetap saja kakinya masih dibalut dengan perban atau semacamnya yang berwarna coklat. Dengan atasan jaket warna abu-abu yang lumayan kebesaran, dan bawahan blue jeans pendek. Dengan penampilan seperti itu Aji sangat terlihat dewasa. Tapi, Karin bingung. Kenapa kaki Aji masih dibalut perban? Padahal kecelakaan itu udah lebih dari dua tahun yang lalu.

Sore harinya Karin memerima pesan singkat dari Mio yang mengatakan bahwa Aji mengalami cedera yang cukup fatal karena terkilir saat bermain basket pada luka bekas kecelakaan yang dia alami dulu dan Aji dirawat di rumah sakit. Mendengar berita itu, Karin jadi bingung sebenarnya apa yang sedang Aji lakukan tadi siang? Karin hanya berharap semuanya akan baik-baik saja seperti dulu.

Tak lama kemudian datang pesan singkat yang lainnya, tapi dari nomor yang tidak dikenal. Ini Karin? Kaka ini mamahnya Aji, bisa tidak Kaka meluangkan sedikit waktu untuk menjenguk Aji besok? Tante tunggu kehadirannya. Terimakasih. Karin semakin bingung dengan keadaan ini. Dan lagi-lagi dia hanya bisa berharap semua akan baik-baik saja seperti hari kemarin.
***

Keesokan harinya Karin datang ke rumah sakit tempat Aji diopname bersama Rian. Karin sengaja mengajak Rian supanya dia bisa nebeng di motornya Rian. Sesampainya di depan kamar tempat Aji diopname, kedatangan mereka berdua disambut baik oleh kedua orang tua Aji, namun sepertinya kondisi ibunda Aji tidak begitu baik. Pertama kali Karin melihat ibunda Aji menangis. Setelah bersalaman mereka berdua diminta masuk ke dalam kamar inap Aji. Dan apa yang Karin lihat? Aji yang diinfus, dan kakinya memakai penyangga. Sepertinya lukanya memang fatal, karena saat Karin mandekati Aji, dia melihat pipi Aji yang basah, seperti bekas menangis. Karin semakin tidak tega melihat kondisi temannya itu. Ketika itu Aji memang sadar, dan dia sedang berbicang dengan Rian dengan intonasi terpatah-patah. Beberapa detik kemudian, semua sunyi, hanya terdengar detikan jarum jam dinding. Lalu, Karin berusaha untuk meramaikan suasana, dia mencoba berkomunikasi kepada Aji.

Perlahan Karin di kursi samping kasur tempat Aji berbaring. “Lo jangan marah ke gue lagi, gue benci kaya gini terus Ji. Kalo lo udah sembuh, apapun yang lo minta ke gue bakal gue turutin. Tapi lo janji, lo harus sembuh, bener deh gue ga akan nyusahin lo. Gue bakal beliin lo lapangan basket yang empuk, biar kalo lo jatuh lo ga akan sampe kaya gini lagi”, ungkap Karin secara terbata-bata kepada Aji, dan Rian yang melihat itu semua hanya bisa menundukan kepala.
“Maaf”. Krikk krikk krikk, Hanya satu kata yang Aji sampaikan kepada Karin setelah Karin berbicara panjang lebar. Yaaa, ga apa-apa sih menurut Karin, toh dari waktu itu juga Aji emang udah jutek. Karena itu Karin keluar dari ruangan. Saat Karin sudah pasti jauh dari ruangan Aji kembali berbincang lagi dengan Rian, namun tampaknya mereka sangat serius. Tapi, ga serius juga sih buktinya Rian masih ketawa geje saat berbincang dengan Aji.

Beberapa lama kemudian Karin kembali lagi ke ruangan, bukan untuk berbincang dengan Aji melainkan mengajak Rian untuk pulang. Akhinya mereka pamit, saat mereka berada di pintu Aji berteriak dengan kesan memaksa “Ji inget kata-kata gue ya!”. Mereka pun pulang. Namun saat di tempat parkir motor, handphone Karin berbunyi tanda ada telepon masuk. Diangkat lah telepon itu, dan terdengar suara wanita “Kaka, cepat kembali lagi ke rumah sakit, kondisi Aji menurun drastis, dia tak sadarkan diri ”, “Iya tante, Kaka akan kesana lagi”. Dengan gegabah Karin langsung berlari tanpa meperdulikan Rian yang mengejar Karin.

Sesampainya disana, Karin sangat bersyukur karena Aji masih bisa sadar kembali. Tanpa berfikir panjang, Karin langsung menghampiri Aji, dan yang Karin lihat hanyalah senyuman Aji yang sangat Karin rindukan. Setelah itu, Aji menutup matanya. Dengan spontan Karin berteriak, hingga semua orang yang ada di luar termasuk dokter masuk ke dalam kamar inap. Dokter langsung memeriksa kondisi Aji, dan ternyata Aji sudah tiada. Air mata Karin tumpah, dan menetes di tangan kanan Aji. Rian yang baru datang seakan-akan dia tahu bahwa hal ini pasti terjadi, tiba-tiba memeluk Karin yang sedang menangis. “Tenang Kaka, lo harus kuat. Masih ada gue disini, gue akan ngejaga lo. Hidup lo masih panjang, Aji pasti akan ada selalu di hati lo. Buat dia bangga sama senyuman lo. Dia udah janji ke gue, meskipun dia udah ga ada pasti dia akan selalu ngejaga lo. Jangan khawatir, jangan nangis. Aji benci kalo lo ngelakuin hal itu. Maafin semua apa yang udah Aji lakuin ke elo, dia udah nyesel. Dia pengen banget bisa ngebahagiain elo, tapi bukan ini yang dia maksud. Ini semua bukan kita yang mau, tapi udah kehendak yang Diatas”. Saat itu, pelukan yang Karin rasakan sama dengan pelukan dari Aji, tanpa sadar Karin menatap wajah orang yang memeluknya itu dan dugaan Karin benar, senyum Aji yang dia lihat. Namun semua itu hilang ketika Karin mulai sadar yang memeluknya itu Rian bukan Aji. Tapi disisi lain Karin tetap percaya, bahwa yang memeluknya pertamakali adalah Aji.
Sebulan setelah kejadian itu, Rian berkunjung ke rumah Karin.
“Ka, sebenernya, apa yang gue ucapin waktu kemarin adalah perkataan Aji buat lo, dia ga sanggup ngucapin itu ke elo. Karena dia ga mau nangis di depan lo” ucap Rian.
“Ga apa-apa nangis juga, depan gue ini ko”
“Bukan masalah itunya Ka, beliau takut kalo lo ikutan nangis juga. Itu semua beliau pesanin ke gue pas di rumah sakit”
“Tapi perasaan, menurut pendengaran gue ya, kalian berdua ngobrol sambil ketawa?”
“Yaaaa, itu tuh ketawa waktu gue meragaiin apa yang Aji pesenin, yaitu apa yang gue ucapin ke elo kemarin”
“Ohhhh”, dengan senyuman tipis yang Karin buat pada bibirnya. “Yaudah, mulai sekarang lo jangan sedih lagi, ada Aji dan gue yang akan nemenin lo. Oh ya satu lagi, besok lo harus ikut gue ke Bogor, waktu beliau masih ada, Aji minta gue bawa lo kesana. Disana kita datangin rumah Aji, yang katanya sejuk itu. Tenang aja, nyokapnya Aji udah stand by disana ko”.
“Okaaaay, gue janji bakal nurutin apa yang Aji minta”, jawab Karin

" TAMAT "


Oleh : Dita Puspitasari

Diposkan oleh : Teddy Silvanus

0 komentar:

Posting Komentar