Jumat, 15 Mei 2015

Cerpen "PIANO DALAM BINGKAI KESUNYIAN"

Jum'at, 15 Mai 2015





"PIANO DALAM BINGKAI KESUNYIAN"



Aku sangat menikmati malamku dengan mendengarkan tetangga sebelahku mendawaikan alunan halus tuts grand piano tuanya itu. Hampir setiap malam pukul sembilan, dia pasti memainkan balada-balada yang mampu aku tangkap dengan sayup sekali. Semenjak aku pindah ke apartemen ini sekitar dua bulan yang lalu, aku mengetahui kalau tetangganya sebelahku adalah seorang musisi dan pianis yang sangat termasyhur. Selama dua bulan ini aku juga belum sekalipun bertemu muka dengannya. Aku pikir bahwa dia sangat sibuk.

Setiap malam dia menarikan jemarinya di atas tuts-tuts grand piano. Aku yakin bahwa itu adalah suara dari sebuah grand piano yang sangat indah, bukan dari keyboard elektrik. Suaranya sungguh khas di telingaku. Saking seringnya aku mendengarkan alunan piano itu, aku juga mengubah tatanan dalam apartemenku. Aku dekatkan kursi hangat tempatku bersantai ke dinding pembatas dengan apartemen tetanggaku, selain itu juga TV plasma yang berukuran 32’ itu juga mengikuti arah kursi hangatku. Aku lakukan semua itu agar setiap malam aku bisa semakin jelas mendengarkan dentingan permainan piano tetanggaku, di mana ketika aku sedang bersantai sambil menikmati segelas blue marine wine yang akan menghangatkan malamku. Suguhan gratis yang tak mungkin aku lewatkan begitu saja.
Aku dapat menerka bahwa tetanggaku itu menyukai aliran klasik dalam permainan pianonya. Dia lebih sering memainkan lagu-lagu 70-80an seperti; Close To You, Without You, Unchained Melody, There She Goes, I Don’t Like to Sleep Alone dan masih banyak lagi lagu-lagu yang terkadang aku juga tidak tahu lagu siapa itu. Aku hanya bisa menikmati playlist yang dia mainkan. Itulah harmoni ketenangan yang aku dapatkan dengan cuma-cuma.
Awalnya aku menganggap kebiasaan tetanggaku itu biasa saja. Tapi lama-kelamaan kebiasaan tetanggaku itulah yang membuat aku rindu untuk segera kembali ke apartemenku setelah seharian berkutat dengan sibuknya kota Manhattan, USA. Dulu ketika aku masih di apartemen yang lama, setiap kali aku capai dengan rutinitasku sebagai senior editor di majalah politik mingguan “Weekly News” aku pasti menghabiskan malamku di bar. Barulah ketika aku sudah muak dengan dentaman musik serta leguhan penari erotis yang menjadi komoditi malam di bar itu, aku kembali ke apartemenku untuk sejenak menidurkan tubuhku.
Tapi dua bulan yang lalu, ketika aku pindah ke apartemen baruku. Aku menemukan sebuah kenyamanan berada di dalamnya. Dentingan-dentingan piano tetangga sebelahku yang membuat semuanya terasa berbeda. Setelah bekerja, aku jarang sekali mampir ke bar dan aku lebih senang segera kembali ke apartemenku untuk mendengarkan permainan piano tetangga sebelahku itu ditemani segelas wine atau tequila. Terkadang aku juga membeli burger, pizza, atau fast food lainnya untuk menu makan malamku. Aku merasa seperti makan di sebuah restoran berkelas atas. Padahal, aku hanya menikmati makan di apartemenku dengan diiringi sayup-sayup suara dentingan permainan piano dari tetangga sebelahku. Itulah yang membuat semua menjadi beda, jika tidak ada tetangga sebelahku tentu setiap malam aku masih sering mencari ketenangan di bar.
Semakin hari permainan tetanggaku itu semakin membuatku menggilai dentingan alunan pianonya. Permainannya semakin sempurna, siapakah maestro yang berada di apartemen sebelahku? Musisikah? Artiskah? Komposerkah? Tapi satu yang pasti, dia sangat piawai menarikan jemarinya di atas tuts itu. Mungkinkah aku bisa bertemu dengannya atau bahkan sekedar masuk ke dalam apartemennya untuk melihat secara langsung permainannya.
Malam ini langit terlihat pucat sekali, padahal bulan sudah setengah purnama. Langit terlihat sangat keruh dan aku jelas melihatnya karena aku sengaja membuka tirai penutup jendela apartemenku. Langit seperti muram. Tiba-tiba aku merindu langit malam di kampungku, Solopadan, Wonogiri. Aku ingat betul langit di Solopadan pasti tetap berwarna kebiruan jika malam tiba, apalagi kalau bulan sudah menampakkan diri. Mungkin di Solopadan belum banyak polusi yang menggantung di awan-awan. Sedangkan di Manhattan, setiap detik polusi bisa menutupi semua ruang langit. Tak heran jika langit malam di sini teramat keruh. Segelas red wine sudah aku tenggak, tapi aku belum mendengarkan dentingan piano dari tetangga sebelahku. Aku menuju balkon apartemenku, aku ingin menghirup udara yang menurutku tak akan pernah segar. Pandanganku tertuju ke arah ribuan lampu-lampu yang seakan membentuk sebuah mozaik kerajaan kunang-kunang. Lampu-lampu itu berkelip dan memendarkan cahaya nan apik. Di sini aku jarang sekali melihat rimbunnya pepohonan. Bagiku Manhattan itu sebuah kota yang di penuhi pohon-pohon beton pencakar langit. Terasa menyesakkan.
Aku lantas melirik ke balkon sebelah kiriku. Itu adalah balkon milik tetanggaku, tapi balkon itu tertutup rapat dengan cahaya redup keemasan yang berpendar dari dalam. Aku terus menahan pandanganku ke arah balkon itu, aku berharap akan ada seseorang yang keluar dari dalam apartemen itu. Hampir setengah jam aku mengamati balkon itu, tapi tak ada satu pun orang yang keluar. Hingga akhirnya aku kembali masuk ke dalam apartemenku. Aku tak tahu kenapa hatiku gundah, apa karena tak ada dentingan piano di malam ini?
Malam kedua tetap sama, tanpa alunan dentingan merdu piano itu. Aku semakin gundah, aku semakin merindukan alunan itu. sebuah alunan yang mampu menghipnotisku dalam ketenangan. Di mana alunan itu? Di mana tetanggaku? Aku sudah begitu menikmati dentingan klasik milik tetanggaku. Alunan itu telah menghilang dari kamarku. Begitulah seterusnya sampai malam ketiga, keempat hingga malam kelima. Sesekali aku juga mengetuk pintu apartemennya. Bukan hanya mengetuk, tapi selayaknya aku sudah menggedor pintu agar dia keluar. Nihil, tak ada yang mendengar ketukan dan gedoranku, tak ada yang keluar. Hampir seminggu aku kehilangan suara merdu itu. Kegundahanku sudah teramat memuncak. Setiap malam-malam itu aku bisa menghabiskan berbotol-botol wine untuk menemaniku dalam menunggu suara itu, hingga aku kehilangan kesadaranku dan tertidur dengan sendirinya.
Untuk mengatasi rasa gundahku itu, aku membeli beberapa DVD piano klasik milik Ludwig Van Beethoven. Aku selalu memainkan DVD-DVD itu untuk menemaniku bersantai di malam hari. Aku sangat mencintai musik piano klasik, apalagi setelah mendengarkan komposisi yang dihadirkan Beethoven dalam alunan Fur Elise. Nyaman sekali mendengarkan semua musik itu, bukan tetangga sebelahku melainkan hanya DVD yang kuputar. Gila! Aku telah menjelma menjadi lelaki yang melankolis. Seolah aku telah mencintai kelembutan, ketenangan serta harmonisasi emosional yang terstruktur di dalamnya. Ah, lalaki apa aku ini? Tetanggaku telah mengubah komposisi yang ada di otakku. Tapi di sisi lain aku merasakan perubahan dalam diriku, aku mampu menguasai kontrol emosiku. Ketenangan, kelembutan dan harmonisasi emosional itu telah merapikan pola hidupku. Perlahan semua sendi kehidupanku menjadi terstruktur dengan sendirinya. Tapi suara yang nyata dari sebelah apartemenku kini telah mengilang. Tetanggaku, mainkanlah sekali lagi untukku! Aku ingin mendengarnya! Tetanggaku.
Malam itu, malam yang kesekian aku lalui tanpa tarian jemari tetanggaku. Aku masih setia menunggu dengan memutar DVD dengan keras. Aku berharap bahwa tetanggaku akan mendengar dan merasa bahwa aku telah merindukan permainan pianonya. Tetanggaku, dengarlah musik yang sengaja aku mainkan untukmu. Dengarlah, aku merindukan permainanmu. Aku sudah teramat galau dengan kondisi ini. Bagaimana tidak? Aku kehilangan sesuatu hal yang telah membuat semua pola hidupku terstruktur dalam harmonisasi yang indah. Aku kehilangan tanpa tahu siapa dia, aku kehilangan tanpa sempat mengucap terima kasih, aku kehilangan tanpa sempat mendengarnya untuk yang terakhir. Aku telah kehilangan Beethoven yang memainkan dentingan merdu secara cuma-cuma untukku.
Ketika kesadaranku akan hilang karena wine yang menelanjangiku. Lamat-lamat aku mendengar dentingan piano. Suara itu bukan dari DVD yang aku mainkan, aku segera matikan DVDku. Aku mendengar permainan piano dari sebelah apartemenku. Tetanggaku telah mendengarkan musik yang aku putar setiap malam. Dia membalas dengan memainkan dentingan itu lagi untukku. Aku yakin itu bukan ilusi karena kesadaranku akan hilang oleh efek alkohol. Aku mencoba melangkah keluar, aku ingin mengetuk pintu apartemen tetanggaku. Aku gontai, tapi aku sampai juga di depan pintu apartemen tetanggaku. Aku melihat pintu tetanggaku terbuka sedikit, hanya satu celah kecil. Aku mengurungkan niatku untuk mengetuk, aku kembali ke apartemenku untuk mengambil sebotol red wine dan blue marine wine kesukaanku.
Aku membawa botol-botol itu dengan baki serta membawa dua gelas berkaki. Aku ingin langsung masuk dan mempersembahkan wine itu untuknya sebagai tanda terima kasih telah memberikan hiburan untuk setiap malam-malamku. Perlahan aku memasuki apartemen tetanggaku, aku lamatkan langkahku agar tak mengganggu permainan pianonya. Aku terpesona dengan ruangan apartemennya, semua berwarna putih gading. Dinding, platform, meja kursi, serta sebuah ranjang yang berwarna putih gading bersih. Aku melirik jauh ke arah jendela. Aku takjub melihat seorang wanita yang memakai long dress warna putih bersih, rambutnya yang cokelat terurai panjang menutupi sebagian punggungnya. Aku melihat bagian belakang dress yang dia kenakan juga menjuntai ke lantai yang bermarmer putih gading pula. Dia sedang memainkan sebuah grand piano berwarna putih gading yang cukup besar, dia memainkannya menghadap ke jendela yang tirainya dibiarkan terbuka. Posisinya jelas membelakangiku.
Aku meletakkan baki ke sebuah meja kecil dan aku lantas duduk di kursi besar yang berada di tengah ruangan. Aku tak ingin mengganggunya bermain piano, biarlah dia tahu dengan sendirinya kalau aku menikmati permainannya. Aku sungguh hanyut dengan permainannya ketika dia memainkan sonata Fur Elise dengan begitu lembut dan apik. Perasaanku terbawa alunan yang mendayu itu. Setelah dia selesai, aku langsung memberikan tepuk tanganku untuknya. Dia hanya diam dan terus menarikan jemarinya di atas tuts piano itu. Aku kagum dengan profesionalitas yang dia tunjukkan. Dia tak menghiraukan tepuk tanganku, dia begitu menikmati sonata demi sonata yang dia mainkan. Hampir dua jam aku menikmati permainan apiknya. Hingga dia terperanjat ketika dia membalikkan badan dan menemukan diriku sedang memberikan tepukan padanya.
Dia mengambil komputer tabletnya dan melangkah mendekatiku. Aku melihat dia mengetik sesuatu kemudian dia menyodorkan komputer tablet itu ke arahku.
“Siapa kamu?” Tulisan yang tertera di komputer tablet.
“Aku adalah lelaki yang setiap malam selalu merindukan suara permainan pianomu. Aku lelaki yang tinggal di apartemen sebelah.” Tulisku
“Terima kasih karena kau telah mau mendengarkan permainanku. Apa menurutmu permainanku itu bagus?” Tanyanya
“Bagus, sangat bagus dan indah. Kau memainkan semua sonata-sonata itu dengan sempurna. Tak berlebihan rasanya jika aku telah mencintai permainanmu. Bicaralah padaku! Jangan hanya menulis di komputer ini.” Pintaku kepadanya.
“Maaf aku adalah wanita bisu dan tuna rungu. Aku tak bisa bicara dan mendengar. Aku seperti ini sejak lahir. Maafkan aku karena tak bisa berbicara kepadamu” Tulisnya lagi.
Sungguh aku hanya bisa termangu tak mempercayai semua itu. Tubuhku bagaikan runtuh satu persatu mendapati kenyataan itu. Aku baru menyadari bahwa wanita yang setiap malam memainkan sonata-sonata yang indah untukku adalah seorang yang tuli. Sekali lagi, wanita berhidung mancung dan memiliki bola mata biru itu adalah wanita yang bisu dan tuli. Bagaimana mungkin? Dia memainkan sonata-sonata dengan suara dan nada yang sangat sempurna apiknya, akan tetapi dia sendiri tidak bisa untuk mendengarnya. Aku begitu takjub ketika tadi aku baru saja melihatnya begitu menikmati permainannya, dia mengangguk-anggukkan kepalanya seirama dengan gerak tangannya. Tapi dia sama sekali tak bisa mendengarnya. Lalu untuk siapa dia memainkan semua sonata indah itu? Tubuhku bergetar, mataku mulai berkaca-kaca, satu dua bulir air mataku jatuh. Dia benar-benar telah mengubahku menjadi lelaki melankolis yang begitu peka dengan perasaan hatiku.
“Untuk siapa kamu memainkan sonata-sonata indah itu?” Tanyaku padanya.
“Aku memainkan sonata itu untuk hatiku. Walau aku tuli sekalipun tapi hatiku tetap bisa mendengarkannya, hatiku bisa merasakannya. Hatiku bisa lebih tajam mendengar dari telingaku, hatiku bisa lebih keras berbicara dari mulutku. Walau mulut dan telingaku bisu dan tuli tapi hatiku tak pernah sekalipun bisu dan tuli. Aku memainkan sonata ini untuk hati dan jiwaku serta orang-orang yang ingin mendengarkannya dengan tulus seperti kamu.”
Aku telah terhipnotis dengan ungkapannya. Aku kini tidak hanya mencintai dan mencumbui permainan pianonya, tapi kini aku juga mencintai wanita yang memiliki bola mata biru itu. Siapa lagi kalau bukan tetanggaku. Aku menuangkan red wine untuknya dan dia hanya tersenyum menerimanya. Aku telah mencintainya.
“Aku telah mencintai dan mencumbui permainan pianomu di hatiku. Tapi kini aku juga telah benar-benar mencintaimu. Maukah kau menikah denganku?” Tulisku untuknya. Dia tak menuliskan apa-apa di komputer tabletnya, tapi dia hanya menggarukkan kepalanya.
Malam itu, aku tak hanya mencumbu permainan piano tetanggaku itu. aku juga mencumbu mesra wanita berbola mata biru yang tak lain adalah tetanggaku yang selalu memainkan sonata untukku. Kini dia telah menerimaku sebagai suaminya. Kami bercumbu kasih di atas ranjang berwarna putih gading bersih miliknya. Aku telah mencintai segala kekurangan yang ada pada tubuhnya karena semua kekurangan itulah yang akhirnya melahirkan berjuta kelebihan pada dirinya. Jasmin, aku memang telah mencintai permainan pianomu tapi kini terlebih aku mencintaimu sebagai istriku._

Tawangmangu.

Oleh : Aditya D. Sugiarso
Diposkan oleh : Teddy Silvanus

0 komentar:

Posting Komentar