Jumat, 08 Mei 2015

Cerpen "ILALANG"

Jum'at, 08 Mai 2015







"ILALANG"

     Langit menebarkan aroma jingga cerah dengan sedikit awan yang mengarak dari timur menuju barat. Gumpalan-gumpalan putih itulah yang menjadi periak langit jingga di kala sore. Hening dan teduh rasanya tatkala aku duduk bersandar di bawah pohon kembang Kamboja. Kembang Kamboja itu berada di samping pemakaman yang mengonggok membisu. Aku bertanya, adakah angin yang berhembus sepoi? Adakah rona yang menepikan jengahku? Adakah jawaban dari semua pertanyaanku?
Akhirnya aku berdiri dan berjalan menapaki jejak-jejak langkah sang fana. Aku tak tahu ke mana harus aku melangkah? Bukan untuk pulang, bukan pula untuk pergi menjauh. Aku seperti mematung tapi sejatinya aku tetap melangkah. Aku merasa tubuhku mematung karena langkahku tak bertuju. Ataukah aku ini patung yang berjalan?
     Nirwana jingga itu sudah menghitam pekat. Hanya bulan sabit tipis yang melirikkan cahayanya. Hanya garis lengkung yang nampak di gelapnya malam. Kembali aku tak tahu harus ke mana melangkah. Aku telah jauh meninggalkan kembang Kamboja yang aku sandari, lebih kurang seperti tadi ketika rona jingga memagari langit. Aku benar-benar merasakan telapakku menapak pada gulma-gulma yang menggelitik kakiku. Adakah kalian yang tak tertawa ketika digelitik? Adakah orang yang mampu menahan bahak tawanya, ketika telapaknya dengan lembut digelitik dengan bulu-bulu gulma liar? Adakah? Mungkin hanya aku! Akulah orang yang tak tertawa ketika gulma-gulma itu menggelitik langkahku. Bahkan tidak pula untuk sebuah senyum tipis. Tahukah kalian? akulah wajah sendu masai itu.
     Perjalanan bagai sebuah imaji. Aku membangun imaji nan teramat indah tapi aku sendiri tak mampu menyusuri untuk merengkuh imaji itu. hanya sebuah perjalanan buta inilah yang menuntunku ke mana langkahku. Aku kini duduk merengkuh lutut di atas bebatuan. Mataku memandang jauh hingga pandangan itu menjadi kabur. Sejauh horison alam, sejauh itu pula pandanganku. Perjalanan ini, pandangan ini, semua telah membuatku jauh dari rumah dan aku juga tak tahu di mana jalan pulang. Tahukah kalian? bebatuan yang aku duduki dengan merengkuh lutut itu berada di pinggir sungai kecil seperti selokan tapi lebih besar sedikit. Entah apalah kalian menyebutnya. Aku merasakan begitu tenangnya aliran air itu yang memercikkan reriuhan alunan irama air yang mengalir. Betapa bahagianya ikan-ikan mungil yang berenang leluasa di laksa yang indah itu. pastilah ikan-ikan itu akan bahagia. Apakah ikan-ikan itu tahu kalau aku tak bahagia sama sekali? Andai ikan-ikan di dalam laksa itu tahu kalau aku sedang memendam masai pada wajahku. Mereka pasti akan menyingkir dari hadapanku karena tentu mereka tak tega hati menyaksikan aku yang sedang menyaksikan mereka memendam masai. Ikan, tahu apa kau tentang isi hatiku? Apa kau tahu apa jawaban dari semua pertanyaan di hatiku? Dari lubukku? Kalian tentu tak akan tahu itu, karena itulah yang aku cari dalam langkah-langkahku di perjalanan ini.
     Mudah sekali bagi langit untuk mengubah warna di kanvasnya. Kadang hitam pekat melegam, kadang biru bersih, kadang merona jingga atau bahkan memburam beriak abu-abu. Aku baru menyadari itulah hariku yang semakin berganti. Hariku yang semakin menjauh dan teramat jauh. Entah sudah sejauh apa hari-hari itu menggiringku dalam kemasaian wajah. Aku sendiri juga sudah sangat lupa kapan bibirku ini menyunggingkan tawa, jangankan tawa yang membahak senyum secuil pun aku sudah lalai.
     Oh..... Kini wajah masaiku berada di sebuah gubuk kecil di tengah luasnya belantara gandum-gandum yang memendarkan warna keemasan. Alamak, tanah apakah ini? aku tak melihat satu pun pohon besar kecuali hanya seluas gandum emas selama mata mengarah. Apa aku tersesat? Kiranya sudah sejak dari tempo hari aku tersesat. Jauh-jauh sebelum ini aku memang sudah tersesat atau mungkin sedang menyesatkan diriku karena kemasaian yang melanda wajahku. Oh.. Gandum yang mengemas warnamu, tahukah kau sebab-musabab perihal kemasaian wajahku ini? Hingga membawa aku ke tanah gandum ini? Kalian adalah berjuta-juta pohon di satu koloni berwarna, adakah satu saja di antara kalian yang tahu? Di satu banding berjuta-juta, adakah satu saja yang tahu? Bedebah, kalian hanyalah emas yang membisu, diam. Tak pantas rasanya aku bertanya perihal itu pada kalian. Aku sebaiknya meninggalkan kalian bermalas-malasan di tanah ini. Salam saja untuk tuan kalian yang sebentar lagi akan menjadi kaya raya ketika masa panenmu tiba.
     Aku semakin berambisi dalam mencari jawaban dari pertanyaan hatiku. Pertanyaan itulah yang membuatku masai dan terpuruk. Biarlah aku tersesat jauh asalkan jawaban itu datang untukku. Kalaupun aku tak tersesat maka aku akan sengaja menyesatkan tubuhku ke mana saja. Antah berantah sekalipun aku tak gentar. Kalau pun aku mati dan jasadku di patuk habis oleh elang aku tak menyiutkan nyali. Demi jawaban itu, apapun aku lakukan juga? Mati pun aku siap. Kakiku menapaki bulir-bulir tanah nan lembut, walau begitu rasanya tak manis seperti gulma tempo hari yang menggelitik. Kelembutan tanah ini menyengat kulitku. Alamak di mana aku sekarang? Tanah ini bagai lautan cokelat tapi sekalipun dia cokelat tak manis rasanya. Hanya warnanya saja yang cokelat terang. Aku menyadari bahwa aku telah berada di lautan tanah berpasir cokelat. Gila! Jauh juga diriku tersesat.
“Haloooo....” Teriakku memecah kesenyapan.
“Bisakah aku bertemu Fir’aun, bisakah aku bertemu ratu kecantikan Cleopatra? Masihkah Napoleon Bonaparte setia menemani Cleopatra di tanah ini?”
    Aku kira inilah tanah mereka. Tanah panas yang menghembuskan angin kering ini mampu membuatku kepayahan melangkah. Kakiku melepuh. Demi jawaban-jawaban itu, aku terus menjejalkan kakiku di tanah panas ini. Tahukah kalian? Kerongkonganku sudah melepuh-lepuh. Untuk kesekian kalinya aku tertipu oase sang fatamorgana. Gila! Di sini aku tak menemukan jawaban. Fir’aun, Cleoptara, Napoleon sudah mendahuluiku ke alam maya mereka. Mereka tak sekali pun mampu memberikan jawaban itu? Di mana aku harus mencari jawaban?
     Sebelum aku mati terpanggang sengatan matahari, alangkah baiknya aku segera meninggalkan tanah panas ini. Mungkin akan ada jawaban di tempat yang lain. Aku melarikan diri dari tanah panas itu dengan menjinjitkan kakiku. Luar biasa menyengat tepat di telapak kakiku. Aku terus melarikan diri entah ke mana? Mungkin ke utara, mungkin pula ke selatan, mungkin juga bisa ke barat. Adakah kalian tahu di mana jawaban itu?
     Betapa indah apa yang terhampar di hadapan dua mataku, sebuah lembah permadani nan hijau terhampar membentang cemelentang. Duhai angin, damainya suasana ini. Aku tamati dengan detilnya dan aku menemukan bahwa itu adalah permadani ilalang hijau. Angin meriakkan alur-alur indah di batangan-batangan ilalang itu. Ilalang itu menari-nari dituntun sang angin yang menggoyangkannya. Ke kanan dan ke kiri alangkah merdunya.
   Sejenak dalam menamati semua pemandangan ini, sejenak aku bisa melupakan panas yang semula mencacahku hampir mati. Aroma hijau nan sejuk juga menghijaukan hatiku. Entah dari mana asalnya warna hijau itu perlambang kesejukan? Tapi aku juga merasakannya. Aku duduk bersedekap lutut, sejenak menikmati lantunan kidung sang alam hijau di depan pelupuk mata. Rasanya aku ingin sekali ikut menari di antara rerimbunan ilalang yang menghijau. Rasanya aku tak akan sampai melakukan hal itu, menari-nari di atas ilalang. Aku ini laki-laki hingga rasanya tabu jika aku menari-nari di antara ilalang itu. Apalagi aku tak suka film-film Bollywood. Aku urungkan niat itu! Aku hanya melangkah dan menyentuh ujung-ujung ilalang itu. Membelainya dengan lembut! Aku membayangkan ilalang-ilalang itu adalah diriku sedangkan aku sendiri aku bayangkan sebagai Beatriche yang sedang membelaiku lembut. Andai Beatriche masih dapat membelaiku, rasanya aku tak akan murung masai wajah seperti ini.
     Aku menghambur terentang dalam rerimbunan ilalang-ilalang itu. Aku menikmati benar aroma kelembutan, seperti gulma-gulma tempo hari yang menggelitikku lembut. Aku mencoba bertanya kepada ilalang-ilalang itu. Aku menanyakan sebuah pertanyaan klasik yang aku cari jawabannya hampir dalam sewindu perjalananku. Perjalanan yang jauh dari rumah dan perjalanan ini menggiringku untuk tidak mengetahui ke mana jalan pulang. Aku terentang menengadah ke langit yang menyorotkan cahya keemasannya. Tentunya bukan langit yang menyorotkan tetapi sang mataharilah yang menyorotkan.
   Aku menangisi kenapa Beatriche harus meninggalkanku. Dia memilih Fhilipo, lelaki Italia itu sebagai suaminya. Beatrice tak meninggalkan secuil alasan sama sekali kepadaku. Kenapa? Ilalang-ilalang bisu tahukah kau kenapa Beatriche meninggalkanku? Betapa sumpah serapah aku ucapkan ketika dia menerima lingkaran pengikat itu di jari manisnya. Hingga kini jawaban itu tak aku temukan. Beatriche menghilang bersama cintaku yang dia hilangkan. Sampai kapan perjalanan ini akan aku arungi? Ilalang-ilalang itu masih terus bergoyang tanpa sedikit pun memberikan belas kasihannya kepadaku yang terus menerus masai murung.
Aku akan berhenti andai jawaban itu ada untukku. Atau aku akan berhenti mencari ketika aku sudah mati. Pastilah Beatriche teramat bahagia dengan lelaki Italia itu, sedangkan di sini, sekarang ini, saat ini, selama sewindu ini aku menyusuri gelapnya hidupku untuk mencari jawaban itu dengan penuh muram dan masai. aku cari jawaban itu di tanah makam, di atas gulma, di tanah emas bergandum bahkan juga di tanah cokelat yang panas berhujan terik. Rasanya aku sudah letih melangkah, mungkin inilah akhir dari perjalanan tanpa akhirku. Akulah lelaki masai yang ditertawakan ilalang-ilalang yang bergoyang gemulai. Beatriche!_

Karangawen

Oleh : Aditya D. Sugiarso
Diposkan oleh : Teddy Silvanus

0 komentar:

Posting Komentar