Kamis, 14 Mei 2015

Cerpen "SURAT TERAKHIR"

Kamis, 14 Mai 2015







SURAT TERAKHIR

Ku mulai kisah ini saat air mataku telah habis dan mengering. Aku selalu mencoba memahami setiap jengkal hirupan nafasku dengan ketidaksempurnaan yang menemaniku. Perkenalkan namaku Juarsih. Dulu aku adalah kembang Desa Kuto Winangun, Solo. Banyak yang mengatakan parasku cantik dan anggun. Aku juga tipe wanita yang supel dan murah senyum. Tak heran jika setiap bujang di kampungku selalu mendambakan cinta dari diriku. Cinta dari seorang kembang desa. Menurut para bujang di sekitar kampungku, jika mampu menaklukkan hatiku, mereka bisa berbangga hati. Bukan aku ingin menyombongkan diri. Sudah ada delapan bujang yang meminangku, tapi alamak aku tak tertarik pada mereka jadi wajar jika aku menolak mereka satu persatu. Aku bukanlah wanita yang pemilih, namun aku sedikit selektif dalam mencari pasangan hidupku. Aku mematok target bahwa pria yang akan meminangku kelak harus mapan, berduit, mampu memberi nafkah lahir batin dan tentunya dengan dukungan tampang yang rupawan pula. Kecantikan dan kemolekanku mampu menghipnotis setiap laki-laki untuk mencintaiku dan sekali lagi aku tidak mau menyombongkan diri. Ini memang adanya dari Juarsih sang kembang Desa Kuto Winangun. Tapi itu dulu, cerita-cerita itulah yang dulu menghiasi kehidupanku. Lalu kini?
Malam ini rasa dingin menyengat tubuhku yang terbaring merengkuk di atas kasur tempat tidurku bersama dua anak-anakku yaitu Laksar Wiji Amnasar dan Rengga Cahyaning Restu yang aku peluk erat dalam dekapanku. Aku berharap di setiap malam mampu memberikan kehangatan kepada buah hatiku yang akan selalu aku jaga dengan penuh rasa kasih sayang. Dua bocah itulah yang akan menghibur hari-hariku kelak. Desa Kuto Winangun memang berada di lereng gunung, wajar jika malam datang, hawa dingin terasa sangat menyengat. Ditambah saat ini adalah bulan Januari tepat pula dengan datangnya musim hujan, sudah barang tentu desaku diguyur hawa dingin. Tiba-tiba kurasakan gerakan tubuh si mungil Restu mengeliat dan menguap. “Ya Allah, betapa lucunya si mungil yang Kau titipkan padaku” Desisku dalam dada. Setiap malam aku selalu menghabiskan waktu dengan kedua anakku. Aku tak tertarik membahas tentang siapa ayah dari anak-anakku ini, tapi mau bagaimana lagi? Toh dia juga termasuk dalam bagian hidupku dan termasuk satu cerita yang telah aku ukir dalam perjalanan hidupku. Cahyo Henggar Baskara itulah nama suamiku. Dia adalah jawaban dari pilihanku, sebuah pilihan dari proses yang sangat selektif. Mas Baskara berasal dari keluarga kaya dari kota dan orang tuanya adalah tuan tanah yang sangat dihormati.
Pesta perkawinanku dulu berjalan meriah tiga hari tiga malam tanpa henti. Selama itu pula aku menjadi ratu di tirai pelaminan nan indah dan Mas Baskara bagai sang pangeran tampan di cerita-cerita dongeng. Rama dan Shinta, begitulah warga kampung menyebut kami yang sedang dimabuk asmara. Mas Baskara adalah suami yang sangat tanggung jawab. Beliau memberiku nafkah yang lebih dari cukup dan bahkan suka membantu keluargaku ketika menghadapi kesusahan. Rupanya aku tak salah memilih pendamping seumur hidupku. Tapi itu hanyalah sebuah anggapanku yang lalu, anggapan ketika aku masih terbuai oleh hasrat yang menguasai jiwa dan hatiku.
Sekarang, sudah tiga tahun lebih Mas Baskara pergi tanpa kabar dan tanpa pamit kepadaku. Saat itu aku sedang mengandung Restu, calon anak kami yang kedua. Mas Bas pergi meninggalkanku, Laksar dan calon buah hati kami yang kedua. Aku begitu terpukul dengan kepergian Mas Baskara. Kepergian yang membuat hidupku hampa dan terasa timpang karena aku harus menghadapi masa-masa sulit sendirian. Aku selalu menangis di setiap malam karena membendung rasa rindu yang sangat memuncak hampir-hampir tak terbendung. Rindu senyumannya, tawanya dan bahkan rindu dengan setiap belaian Mas Bas di malam hari ketika aku dan dia beranjak tidur. Sekian hari sudah terlewati dan sekian bulan terlampaui, maka lahirlah Restu tanpa sosok ayahnya yang berada di dekatnya Saat itu aku hanya mampu menangis dan berteriak sekuat-kuatnya. Rasa sakit karena proses persalinan dan sakit ditinggal Mas Bas menyeruak menjadi satu dalam sebuah kenyataan pahit. Kenyataan yang begitu menyiksaku. Mas Bas telah pergi. Tapi inilah jalan takdir hidupku. Aku harus selalu menghadapinya dengan tabah. Inilah sebuah pilihan yang telah aku pilih sendiri.
Saat malam semakin larut dan aku telah lelah membayangkan semua masa laluku, kini saatnya aku akan menutup mata di samping kedua anakku, Laksar dan Restu. Tiba-tiba terdengar suara mengetuk pintu dari luar rumah. “Siapakah yang mengetuk pintu rumahku malam-malam seperti ini? ” Pertanyaanku dalam hati. Aku beranjak dari tempat tidur dan mulai berjalan ke arah pintu untuk mengetahui siapakah gerangan yang berada di luar rumahku malam-malam buta begini, bahkan sudah mendekati fajar. “Oh... Kang Usman to? Kok tumben malam-malam datang ke sini, Kang? Ada perlu apa?” Ucapan itu terlontar saat aku telah mengetahui bahwa Kang Usman yang telah mengetuk pintu rumahku. Di malam buta seperti ini Kang Usman berdiri menggigil dengan wajah yang tirus disinari nyala lampu petromak yang kembang kempis. Rokok juga terselip di sela bibir dengan sesekali asap mengepul tebal keluar dari mulutnya sekedar untuk menahan dingin. Tentulah dia menahan hawa dingin yang menyerangnya.“Iyo nduk... Iki aku cuma mau ngasihken surat untuk Dik Ju! Masalahe tadi sore aku lupa ngasihken. Seharian nyawah.” Jawab kang Usman singkat dengan gigi-giginya yang gemeretak mengigil.
Setelah aku menerima surat itu, Kang Usman langsung menghilang ditelan sunyinya malam gelap desa kami. Aku terperanjat menyaksikan surat ini, sebuah surat berwarna merah jambu dengan pita merah di ujungnya. Tanganku bergetar tak kuasa ingin segera membuka apa isi surat ini. Dari siapa surat ini? Sejenak berlalu aku telah menyadari bahwa isi surat ini adalah sebuah bingkai kata-kata perpisahan yang tertulis rapi. Sungguh hatiku koyak dan nanar penuh kebisuan saat mataku mulai memilin untaian kata-kata dalam surat ini.
Assalamualaikum.
Dek Ju, yang aku rindukan. Maaf jika Mas telah lancang hanya mengirimkan surat ini setelah bertahun-tahun meninggalkan kalian kau dan Laksar. Surat ini adalah bagian dari isi hatiku untukmu.
Langsung saja Mas menuju inti dari surat ini, Mas telah memutuskan untuk menikah lagi dengan wanita lain. Maka dari itu sejak tiga tahun ini aku meninggalkan rumah karena Mas sudah menjalin hubungan dengan wanita lain. Maafkan Mas yang tidak bisa menjadi laki-laki yang sempurna untuk kamu dan Laksar anak kita.
Bersamaan dengan datangnya surat ini, Mas juga menitipkan surat undangan pernikahanku. Aku harap engkau sudi hadir untuk merestui pernikahan ini. Jikalau engkau hadir maka kaulah tamu terindah di hajatku nanti.
Terima kasih, dan salam kecupan kangen pada Laksar!
Wassalam.
Betapa remuk redam semua perasaan hatiku, lidahku kelu dan kaku tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Isi surat itu membuat diriku limbung dan langsung tersandar lemas pada dinding tembok ruang tengah. Aku mulai menitikkan air mata hingga menangis mengharu biru penuh rasa kekecewaan. Dalam surat itu, Mas Bas hanya menyebut satu nama anaknya, padahal selama dia pergi aku telah melahirkan Restu buah hubunganku darinya. Mas Bas, dirimu sungguh tak mempedulikan aku selama ini. Ku raba amplop itu lagi dan aku menemukan sebuah undangan berwarna merah tua menyekat. Dalam undangan itu tertuliskan pernikahan Cahyo Henggar Baskara, S.T. dengan R.A Resti Cempaka Nawangsari pada tanggal 19 Desember 1990, bertempat di Joglo Ageng Sangapuran, Solo. Acara pernikahan itu berarti hanya dua Minggu lagi. “Ya... Allah kuatkanlah hati dan jiwaku. Kenapa aku baru menyadari bahwa Mas Bas juga memiliki titel di belakang namanya? Kenapa selama ini aku belum mengenal Mas Bas lebih jauh? Apa karena aku hanya terlalu membanggakan dia?”
Malam ini lembaran kehidupanku kututup dengan tangisan kelemahan seorang wanita diiringi air mata kekecewaan. Malam yang berat sungguh terasa sunyi sendu. Aku begitu terpukul dengan kenyataan yang ada bahwa aku telah kehilangan sosok yang selalu aku banggakan. Malam biarlah berlalu dalam tangis yang selalu setia mengirinya. Aku harus kuat dan aku harus mampu demi Laksar dan Restu, kedua pelita kehidupanku. Aku harus melanjutkan hidup!.
***
“Wis... ndhuk! Wis.. Ora usah kowe tangisi Baskara. Kuwatno lan jembarke atimu! Nyuwun sing becik karo Gusti Alloh mugi Baskara bahagia lan kowe dhewe ya kuwat ngadhepi coba iki!” (Sudah, Anakku! Sudah. Tidak usah kamu tangisi Baskara. Kuatkan dan lapangkanlah hatimu! Minta kepada Allah SWT semoga Baskara bahagia dan dirimu sendiri juga kuat menjalani cobaan ini!). Kata-kata itu masuk dan merajam-rajam semua organ dalam tubuhku dan tangisku semakin menjadi dalam pelukan ibuku. Aku mendekap erat di pelukan ibu dan menumpahkan tangis sekuat-kuatnya karena aku ingin melepaskan semua penatku kepada ibuku yang selalu memberi nasihat padaku. Aku bagai bayi yang manja minta ditimang-timang dan dilindungi dari segala mara bahaya. Aku menyusup di antara lipatan ketiak ibuku seolah aku ingin menyusu seperti waktu aku bayi dulu. Tapi aneh rasanya karena aku bukanlah bayi tapi aku adalah Juarsih yang berumur 35 tahun. “Ndhuk...! Cah ayu. Elingana sira yen urip kabeh iku pilihan! Kaya kowe milih Baskara biyen. Padahal ono Habib, Jamal lan Duki sing arep minang awakmu. Kowe milih Baskara amarga sugih, luwih lan bagus rupane”. (Anakku yang cantik,ingatlah kamu jika hidup itu semua adalah pilihan. Seperti kamu memilih Baskara dulu padahal waktu itu ada Habib, Jamal dan Duki yang melamar kamu. Kamu memilih Baskara karena kaya, lebih dan ganteng tampangnya.)
“Terus saya kudu bagaimana Buk?”. Tanyaku dalam isak tangis pada ibuku. “Kowe kudu nerima garising gusti, Ndhuk. Aja nyalahke nasibmu dhewe kerana kuwi ora becik. Wis mendel lan lihat ke depan. Kowe isih nduwe Laksar lan Restu sing wajib mbok rawat nganti gedhe tanpa bapak. Sabar ya Ndhuk. Wes kana mangkat menyang nikahane Baskara! Anak-anakmu ben ibu sing jaga. Rawuh! Kasih doa restumu kanti ikhlas ya Ndhuk”. (Kamu harus menerima yang Tuhan gariskan anakku. Jangan menyalahkan nasibmu karena itu tidak baik. Sudah yakinlah dan lihat ke depan. Dirimu masih punya Laksar dan Restu yang wajib kamu besarkan tanpa sosok seorang ayah. Sabar ya anakku. Sudah sana berangkat ke pesta pernikahan Baskara. Anak-anak biar ibu yang menjaga. Datang! Kasih doa restu dengan ikhlas).
Setelah ibu mencium keningku tanda merestui kepergianku menuju kota untuk datang ke pesta pernikahan Mas Bas, aku langsung berpamitan dan langsung menciumi kedua buah hatiku yang tampak lugu melihatku menangis. Berat rasanya untuk keluar rumah. Aku juga sulit untuk mengangkat kakiku, tapi doa dari ibu telah menguatkanku. Perjalanan ini sungguh panjang karena aku harus menunggang delman menuju jalan depan kampung yang berjarak tiga kilometer. Baru aku melanjutkan perjalanan menggunakan angkot menuju Solo kota, tepatnya di daerah Dalem Giri Kedaton. Kurang lebih dua jam waktu yang aku butuhkan untuk sampai di tempat itu. Aku tidak yakin akan kuat melihat semua kenyataan ini. Kenyataan di mana suamiku duduk di pelaminan dengan wanita lain. Dari namanya, aku dapat menyimpulkan kalau mempelai wanita itu adalah keturunan darah biru. Kini angkot sudah berhenti di pemberhentian terakhir sebelum mendekat ke Giri Kedaton. Aku turun dan mulai menyusuri Jalan Ki Hajar Dewantara yang penuh unsur klasik dengan bangunan tembok-tembok yang menjulang tinggi dan tebal. Sesekali aku berpapasan dengan turis asing yang sedang menikmati suasana kejayaan zaman kolonial kuno di kota Solo. Aku berhenti sejenak di persimpangan yang memisahkan antara Jalan Ki Hajar Dewantara dengan Jalan Ki Mangun Sarkoro. Aku takjub melihat janur kuning yang melengkung indah dan jika aku belok kanan aku dapat langsung melihat gerbang Joglo Ageng Sangapuran. Inilah saatnya aku melihat suamiku bukan menjadi suamiku lagi. Suamiku telah menjadi milik wanita lain dan ayah dari anak-anakku kini bukan ayah mereka lagi. Jantungku berdetak tak menentu, terasa sesak paru-paruku seakan sulit menghirup nafas, tapi ini nyata dan ini bukanlah mimpi. “Ya... Allah! Jika ini jalan terbaik-Mu untukku, maka aku ikhlas menerimanya. Jika ini Takdir dari-Mu maka izinkan aku meminta kekuatan untuk mampu melihat kebahagiaan Mas Bas. Kuatkan hatiku, Ya Allah”. Aku mulai melangkah menuju gedung pernikahan itu. Selangkah dua langkah kakiku terasa sangat berat, tubuhku serasa hampir rubuh ketika semakin dekat dengan pintu gerbang yang dihiasi ukiran naga kembar. Suara gamelan meracau dengan indah masuk ke dalam telingaku. Musik gamelan itu bagai hipnotis yang menenangkan semua imajiku. Semakin dalam dan semakin cepat langkahku menapak di jalanan yang agak berpasir halus. Yah, beginilah suasana areal sekitar dalem keraton, seperti di Keraton Yogyakarta, Demak dan juga Keraton Cirebon mungkin sama. Aku sampai di bibir pintu masuk yang telah penuh orang lalu lalang dengan mengenakan beskap khas Solo basahan. Mungkin mereka adalah abdi dalem keraton. Sungguh sekarang hanya dilema ini yang menguasai akal pikirku karena aku terasa asing di tempat ini. Seorang wanita udik yang datang dari sebuah desa terpencil pinggiran Solo. Mataku melirik ke kanan-kiri melihat dengan takjub suasana yang ada. Semua terlihat tradisional tetapi tetap memberikan aksen kemewahan dan pelaminan suamiku terlihat bagai singgasana sang raja yang sesungguhnya. Tapi aku tak melihat suamiku. “Di mana Mas Bas?” Tanyaku dalam hati.
Di tengah-tengah pendapa yang berlantai marmer keemasan para dayang tari menarikan gambyong dengan penuh penghayatan serta terlihat lentur tubuh mereka gemulai. Mataku masih celingak-celinguk ke kanan dan kiri. “Di mana? Di mana suamiku? Apakah ini benar pesta Mas Bas? Kenapa aku tak melihat suamiku!”
Tak lama setelah aku bertanya-tanya tiba-tiba muncul dari arah kanan datang rombongan pengantin laki-laki. Ku lihat dengan seksama sosok laki-laki paling depan. Kulit kuning langsat, agak berisi, tinggi dan ada tahi lalat di bawah bibirnya. Aku sumringah melihat sosok itu adalah suamiku. Aku tak tahu kenapa saat itu aku begitu bahagia di pernikahan suamiku. Mungkin karena sudah lebih dari tiga tahun aku tidak bertemu jadi aku bahagia karena dapat melihat sosok tampan suamiku. Tapi selang beberapa saat dari kebahagiaanku, mulailah rasa miris yang menyayat hati muncul seketika saat aku menyadari ini adalah pesta pernikahan suamiku. Air mata kelemahan wanitaku mulai bercucuran mengalir di pipiku. Mataku mulai merajuk dan memerah. Ingin rasanya aku berteriak dengan kencang memanggil namanya, tapi aku tahan rasa itu karena aku tidak mau menodai hari bahagia suamiku. Tangisku hanya membuncah di hati tanpa terkuak. Setelah suamiku duduk di pelaminan, kini saatnya sang mempelai wanita muncul dengan gaun basahan Jawa dengan warna keemasan yang sungguh anggun dan cantik.
Setelah semua sakramen tradisional seserahan temanten dijalani, kini saatnya para tamu mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Entah sudah berapa kali aku mengusap air mataku dengan sapu tangan karena tak kuasa melihat keindahan serta kebahagiaan suamiku yang telah melupakan aku, istrinya. Sungguh hebat pesta ini, penuh kemeriahan dan kegembiraan. Aku bimbang dengan keadaan ini apakah aku harus maju dan menyalami suamiku dan mempelai wanitanya? Apakah aku harus pulang begitu saja tanpa mengucapkan selamat? Setiap aku melihat senyuman suamiku hatiku sungguh nyeri dibuatnya. Seolah jiwaku tidak rela melepasnya untuk wanita lain karena dia masih sah menjadi suamiku dari catatan KUA, Kecamatan Kuto Winangun. Sejenak aku mulai berpikir siapa diriku? Aku hanyalah kembang Desa Kuto Winangun, sedangkan wanita itu? Wanita yang bersanding dengan suamiku mungkin adalah kembang Dalem Kedaton. Mas Bas, ternyata dirimu sejahat ini padaku dan anak-anakmu. Aku ini istrimu mas. Anak-anak membutuhkan sosok ayah yang mampu ngayomi dan membimbing mereka.
Tiba saatnya aku melangkah untuk mengucapkan selamat. Melangkah menuju pelaminan mereka dan aku menyalami kedua mertuaku bapak R.M. H Bangun Permana Rahardjo serta ibu Hj. Nini Wilardji. Bahkan mereka tak mengenali siapa diriku! Juarsih istri sah Mas Bas dari Kuto Winangun. Dengan keadaan ini aku makin miris dan meratapi betapa malang nasibku. Hingga tiba saatnya aku harus bersalaman dengan suamiku di pernikahannya, aku menatap nanar wajahnya. Aku hampir saja aku hilang ingatan dan pingsan tapi tetap aku berusaha tegar saat menyalami Mas Bas. Begitu juga dengan Mas Bas yang hanya mengucapkan.
“Makasih ya dik Sih..! Telah hadir di pesta ini?” Begitu cepat momen itu terlewati dan kenapa sebegitu cepat? Tanyaku dalam hati. Aku masih ingin memandangi dirinya untuk yang terakhir kalinya. Tapi hanya sepersekian detik aku mulai melangkah meninggalkan panggung pelaminan itu dan membiarkan Mas Bas suamiku tersenyum menyambut semua tamunya. Tanpa perasaan dan beban, kata-kata itu meluncur deras menghujam di ulu jantung hatiku. Ingin rasanya aku meludahi dan memaki-maki dia, tapi aku sadar untuk apa aku lakukan semua itu karena hanya akan mempermalukan diriku saja. Hatiku mulai hancur berkeping-keping tak berbentuk ketika aku melewati wanita yang menjadi istri dari suamiku. Andai dia tahu kalau aku juga istri sah dari Mas Bas, mungkin ceritanya tidak akan seperti ini. Di antara ratusan tamu yang berbahagia, mungkin hanya aku yang bersimbah sakit memilukan. Aku menangis dalam hati menerima semua kenyataan seperti ini. Setelah cukup aku melihat Mas Bas bahagia di hari pernikahannya, aku memutuskan untuk pulang dan meninggalkan semua kenangan pahit ini sendiri serta menutup lembaran kisahku dengan suamiku yang kini menjadi suami wanita lain.
Aku menyesal dulu hanya berdoa untuk pria yang mapan, berduit, mampu memberi nafkah lahir batin dan tentunya dengan dukungan tampang yang rupawan. Harusnya aku berdoa untuk pria yang sholeh, mencintaiku dan menyayangi diriku sepenuh hatinya agar aku mampu mempunyai keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah dunia akhirat. Kini satu tujuanku yaitu membesarkan anak-anakku tanpa ayah dan berusaha menerima gunjingan serta cibiran dari lingkunganku di Kuto Winangun. Akulah wanita yang terbuai oleh harta dan tahta yang menjadikan aku buta. Aku harus pulang..! Mas Bas, surat terakhirmu akan selalu aku simpan. Aku janji akan membesarkan anak-anak sampai mereka mengerti betapa pahitnya hidup ini. Aku malu pada semua orang. Semua orang yang mengidam-ngidamkan diriku dulu, sebentar lagi akan mengejek dan mencibirku. Tidak ada lagi Juarsih sang kembang desa. Tidak ada lagi yang mau memperhatikan jalanku saat belanja. Tidak ada lagi kata-kata yang mau menggoda diriku. Akankah aku menjadi sampah di Kuto Winangun? “Ya Allah, ampunilah segala salahku serta kuatkanlah aku menghadapi semua ini sendirian tanpa pendamping yang menemani. Karena kini pendampingku telah mendampingi wanita lain.”
Dan aku pulang dengan baluran tetes air mata yang membanjiri setiap jengkal ruang pipiku. Air mata yang menyapu semua kebahagiaanku. Kini langkah kakiku gontai menuju tempat terakhir di mana anak-anakku telah menantikanku. Surat terakhir ini akan selalu aku simpan sampai kau mengerti betapa hancur hatiku olehmu Mas Bas._
***
Karangawen

Oleh : Aditya D. Sugiarso
Diposkan oleh : Teddy Silvanus

0 komentar:

Posting Komentar