Kamis, 14 Mai 2015
"EUFORIA MIMPI"
“Tim nasional Indonesia akan menghadapi pertandingan akbar di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Banyak pengamat sepak bola memprediksi bahwa Tim nasional akan kesulitan meladeni pola permainan total Football yang diterapkan oleh tim lawan. Tim Nasional hanya bisa berharap dewi Fortuna akan memihak kepada Indonesia. Selain dewi Fortuna, suporter adalah kunci kesuksesan para sebelas pahlawan merah putih. Suporter diyakini akan mampu memberikan efek psikologis berupa kepercayaan diri bagi pemain. Maka seluruh praktisi sepak bola Indonesia menghimbau kepada seluruh elemen masyarakat dan seluruh elemen suporter untuk memberikan dukungan penuh bagi sebelas pahlawan Indonesia. Merahkan SUGBK (Stadion Utama Gelora Bung Karno)!”
Begitulah cuplikan artikel yang aku baca pada rubrik olahraga harian Suara Kebebasan. Membaca kalimat terakhir dari artikel itu mampu membuat bulu kudukku merinding. Merahkan SUGBK! Terdengar heroik dan penuh penghayatan jiwa Nasionalis. Aku merasa itulah cara termudah menunjukkan rasa Nasionalis sejati. Tanpa terlalu mengacu kontekstual keilmuan falsafah negara, tanpa banyak kiasan retorika yang jamak di gembar-gemborkan. Cukup datang ke stadion dan memberikan dukungan kepada sebelas gladiator yang bertarung di lapangan nan hijau, mungkin itulah rasa nasionalisme yang sebenar-benarnya. Aku ingin sekali memadai SUGBK, memberikan dukungan dan melecutkan gejolak nasionalisme itu.
Sepak bola? kenapa harus sepak bola? Sekarang aku tak begitu suka dengan sepak bola. Bahkan sekarang merasa benci dan phobia dengan olahraga yang memperebutkan satu bola itu. Aku mulai membangun kebencianku terhadap sepak bola semenjak kaki kananku patah karena jagalan dan tendangan keras sehingga mengakibatkan empat batangan logam stenless stell bersarang di lutut dan tulang keringku. Sejak saat itu aku mulai membenci sepak bola yang telah merenggut cita-citaku untuk menjadi pemain profesional. Sekarang aku muak dengan olahraga yang disebut sepak bola itu.
Waktu itu umurku masih 14 tahun. Aku tergabung dengan tim Diklat Sepak bola Gorontalo yang sedang bertanding dalam Kompetisi Nasional umur 14 tahun wilayah timur. Dalam laga itu kami memperebutkan tiket terakhir untuk mewakili wilayah timur dan lawan kami adalah SSB Mutiara Timur asal dari Wamena, Papua. Pertandingan yang digelar di Stadion Andi Matalatta Makasar itu sangat ketat sekali, kami bermain imbang tanpa gol. Hingga akhirnya aku mendapatkan peluang untuk mencetak gol karena sudah berhadapan dengan kiper. Detik-detik terakhir saat aku akan melesakkan bola tiba-tiba “Bbbrrraaaakkk...!” Terjangan keras tepat mengenai pangkal lututku. Aku pingsan tak sadarkan diri. Ketika terbangun aku sudah berada di rumah sakit dan telah selesai menjalani operasi pemasangan batangan-batangan logam di kakiku. Aku terpukul dengan keadaanku, aku hampir putus asa. Tapi aku tak sempat memikirkan untuk mengakhiri hidupku karena masih teramat kecil. Mulai saat itulah mimpi-mimpi untuk menjadi pemain profesional aku kubur dalam-dalam. Itulah yang mendasari kenapa aku membenci sepak bola?
Aneh memang diriku ini. Aku mengatakan sendiri kalau aku sangat membenci sepak bola, tapi aku dengan mudahnya menceritakan sebab musabab kebencianku terhadap sepak bola. Biasanya banyak orang yang sudi mengungkit-ungkit tentang hal yang dibencinya. Tapi biarlah begitu adanya, toh kejadian itu sudah sepuluh tahun terlawati.
Entah kenapa aku selalu mengulang-ulang membaca artikel tersebut. Rasanya nikmat sekali membaca artikel tersebut, tapi aku tak tahu di mana nikmatnya? Karena memang hatiku yang merasakannya. Pertandingan Akbar! Merahkan SUGBK! Kata-kata itulah yang memenuhi seisi sukma hatiku. Heroik dan Nasionalis, dalam hati ada rasa bangga jika andai kata Tim Nasional mampu mengalahkan lawan yang akan dihadapinya. Rasanya ingin sekali aku menjadi salah satu di antara sembilan puluhan ribu suporter yang memadati stadion dan bersorai membahanakan dukungan.
“Ah ini gila, mana mungkin aku akan datang dan menonton olahraga yang sudah sepuluh tahun ini aku benci? Ini gila... Ini tidak mungkin. Sepak bola telah merenggut kekuatan kakiku. Sepak bola telah mengambil tendangan geledekku. Sepak bola juga telah menyerabut gol-gol indahku. Aku tak mungkin menonton!” Pekikku dalam hati.
***
Aku semakin galau, keinginan untuk datang ke stadion sangat kuat. Tapi di sisi lain amarah dan dendamku masih belum melebur. Hingga hari-hari yang dinanti seluruh masyarakat Indonesia semakin dekat pula, yaitu pertandingan akbar Tim nasional Indonesia. Euforia sudah nampak di mana-mana, tua-muda, besar-kecil, laki-laki-perempuan semua membicarakan sepak bola. Aku muak dengan obrolan-obrolan mereka. Tak beda jauh dengan kondisi di kantor tempatku bekerja, setali tiga uang semua membicarakan pertandingan itu. Bahkan Husein dan beberapa teman kantor mengajakku untuk menonton di layar lebar bersama. Bukan main, kenapa mereka sampai hati menawariku menonton bersama? Padahal seluruh isi kantor sudah tahu semuanya kalau aku sudah membenci sepak bola. Euforia yang membuatku hampir gila. Sepak bola, sepak bola, semua tentang sepak bola! kenapa harus sepak bola? Kenapa kalau ada pertandingan catur tidak seheboh ini?
Euforia itu akhirnya meluluhkan hatiku hingga aku melakukan hal gila yaitu menggunting artikel itu dan menempelkannya di kaca lemari bajuku. Tak sampai di situ aku juga memberi tanda khusus pada baris kalimat yang menunjukkan waktu dan tanggal pertandingan itu. Gila bukan? Kenapa juga aku harus mengingat sebuah hal yang aku terang-terang sudah aku benci sejak sepuluh tahun yang lalu.
Aku tidak tahu dengan jelas apa alasanku melakukan hal itu. Aku merasakan ada rasa bangga ketika melihat artikel itu. Aku bangga dengan sebelas gladiator itu yang bertarung dalam pertandingan akbar demi harkat dan martabat bangsa di mata dunia. Seandainya sepuluh tahun lalu aku tidak mengalami hal itu, mungkin aku adalah satu di antara sebelas gladiator itu. Meliuk-liuk melewati hadangan lawan dan pasti akan mencetak gol dengan tendangan halilintarku, kecuali jika ada yang akan menabrak dan menendang lututku dengan keras. Andai aku bagian dari sebelas gladiator itu tentu aku juga tidak sampai hati tega membenci sepak bola.
***
Pertandingan akbar itu semakin dekat, hanya kurang tiga hari lagi. aku sudah memutuskan untuk izin kerja untuk menonton pertandingan akbar itu langsung dari SUGBK atau Stadion Utama Gelora Bung Karno. Kerasnya hatiku akhirnya luluh juga, kebencianku yang selama ini telah merajai pikiranku kini telah sirna. Aku menemukan kembali sepak bolaku dengan bentuk yang lain. Aku tak lagi bisa menendang apalagi sampai bermain sepak bola layaknya pemain profesional. Tapi kalimat dalam artikel yang berbunyi “Merahkan SUGBK!” Membuat jiwa nasionalisku tumbuh dan berkembang.
Dengan uang pinjaman dari pamanku aku akan berangkat menuju Jakarta. Inilah pertama kalinya aku menginjakkan kakiku ibu kota Indonesia itu. Semua keluargaku terkejut dengan tingkahku ini, bagaimana tidak? Aku yang sejak sepuluh tahun lalu menutup diri dan membenci sepak bola kini tiba-tiba akan datang jauh-jauh ke Jakarta untuk melihat pertandingan akbar Tim Nasional Indonesia. Aku berdalih dan berlindung di belakang asas nasionalisme, aku tak berani berkata secara klise bahwa aku sudah mencintai sepak bola kembali.
Akhirnya, aku berangkat dari Gorontalo menuju Jakarta dengan menaiki pesawat. Baru kali itulah aku merasakan nikmatnya terbang di awang-awang. Demi Indonesia apa pun akan kulakukan. Baru pertama kali ini pula aku merasakan nikmatnya melihat Uforia sepak bola setelah sepuluh tahun aku membencinya. Jangankan melihat ke stadion, masuk ke lapangan kelas tarkam atau antar kampung saja aku seperti alergi. Inilah saatnya pembuktian bahwa aku akan menjadi bagian dari sembilan puluhan ribu suporter Indonesia yang bersatu menjadi satu di Gelora Bung Karno. Aku yakin bukan hanya warga Jakarta saja yang akan memadati stadion, tapi berbagai orang dari berbagai daerah akan bersatu dalam persaudaraan di stadion GBK.
Aku tak butuh waktu lama untuk bisa mendarat di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur. Setelah keluar dari bandara, aku tak tahu harus melangkah ke mana? Aku sendirian dan baru pertama kali ini aku ke Jakarta. Aku mulai bertanya-tanya kepada setiap orang yang kutemui. Semua orang yang kutemui rupanya sepaham dengan menunjuk kawasan Senayan, Jakarta Selatan. Mereka juga memberikan rute dan trayek yang harus aku tumpangi agar bisa sampai ke stadion. Ternyata, menemukan stadion utama Indonesia itu tak semudah yang ku pikirkan. Aku harus hafal nomor bis atau metromini, jika aku salah masuk bis maka aku pasti berkeliling ria ke seantero Jakarta. Aku sudah beberapa kali salah trayek dan sekarang aku terdampar di kawasan yang bernama Ancol. Aku bingung harus ke mana? Padahal pertandingan itu hanya tinggal dua jam lagi. Apa perjuanganku akan sia-sia? Jauh-jauh dari Gorontalo demi memberikan dukungan kepada sebelas gladiator Indonesia harus kandas karena aku tersesat. Aku hanya terduduk manis di trotoar jalan sekitar Mangga Dua Square, aku merasa harapanku pupus sudah untuk menyaksikan pertandingan akbar itu. Aku tak tahu arah, aku harus ke mana?
Dari ujung jalan aku melihat ada bus yang membawa rombongan berwarna merah. Semakin dekat aku juga melihat tulisan “The Orange” di kaca depan bus itu. Aku menyimpulkan senyum karena aku tahu itulah rombongan “The Jack” Sebutan untuk suporter Persija Jakarta. Semangatku mulai timbul kembali, aku segera berlari mengimbangi laju bus metromini tersebut lantas meminta izin untuk menumpang sampai ke SUGBK. Aku merasakan sakit pada lututku, memang dengan kondisi kakiku yang seperti ini tidak memungkinkan untuk berlari. Tapi demi Indonesia apapun akan aku lakukan.
“Apa kalian akan ke Stadion Gelora Bung Karno?” Tanyaku sembari sedikit berteriak.
“Iya, kami akan menuju stadion dan mendukung Tim Nasional Indonesia.” Tukas salah satu penumpang dengan sedikit berteriak.
“Boleh aku ikut menumpang bersama kalian? Aku datang dari Gorontalo untuk mendukung Tim Nasional, tapi aku tersesat di Jakarta.”
“Oke,... Silakan naik!”
Dengan secepat kilat aku lantas meloncat dan mengayun di gagang pintu bus tersebut. Aku beruntung bertemu dengan mereka. Dalam bus sudah riuh redam dengan nyanyian-nyanyian khas suporter dengan diiringi rancak drum bertalu-talu.Semua menyanyikan lagu untuk kemenangan Indonesia. Aku hanyut dalam suasana kegembiraan ini. Selang berapa lama akhirnya kami sudah memasuki kawasan Senayan. Aku telah sampai di stadion yang dulu sempat aku impikan. Stadion ini sangatlah megah, indah dan terlihat sangat kokoh. Aku ditinggal sendirian di depan stadion karena rombongan The Jack sudah mendapatkan tiket yang diatur oleh koordinator lapangan masing-masing. Aku mencari-cari loket untuk membeli tiket dan butuh waktu agak lama untuk mendapatkan tiket itu. Ketika aku hampir masuk tiba-tiba ada sekelompok suporter yang membawa syal “Persebaya” berteriak kepadaku.
“Heeeyy, yok apa rek? Kon arek ndelok bal apa arek menyang nang kantor?Kon kudhu tuku kaos Indonesia, warnane abang ana logone garuda nang dadane. Kon Indonesia apa ora!” (Heeyyy, apa itu? kamu mau lihat bola apa mau berangkat ke kantor? Kamu harus beli kaos Indonesia, warnanya merah ada logonya garuda di dada. Kamu Indonesia tidak!.)
Seketika itu aku tersadar dengan setelan yang aku kenakan, kemeja rapi berwarna biru muda serta bawahan celana kantoran dipadu dengan sepatu pantofel. “alamak, rapi benar aku ini?” Benakku dalam hati.
Terang saja aku langsung mencari penjual jersey Indonesia. Au membeli kaos, syal merah putih dan membeli stiker bendera merah putih yang akan kutempelkan di pipiku. Aku ingin benar-benar menjadi bagian dari sembilan puluhan ribu saudara-saudaraku yang hadir di SUGBK.
Aku masuk ke stadion dari pintu enam, sektor sebelas. Aku hanya mendapatkan tiket di tribune paling atas yaitu upper tribune, sektor delapan. Akhirnya aku bisa duduk di tribune yang sudah penuh sesak, walau tadi aku harus bertanya-tanya kepada security yang berjaga. Aku duduk manis di antara merahnya stadion ini, luar biasa bergemuruh suasana di sini. Setiap jengkal terisi oleh warna merah, tak ada satu celah pun untuk pendukung lawan. kebencianku terhadap sepak bola kini sudah melebur menjadi bangga.
Aku kagum dengan suasana ini, di mana semua elemen masyarakat mampu membaur menjadi satu. Tak ada pembedaan ras, suku, budaya dan agama. Luar biasa! bangunan beratap oval ini telah menyatukan ego-ego dalam diri mereka. Aku melihat banyak sekali spanduk dari berbagai kelompok suporter yang mampu membuatku kembali mangacungkan jempol rasa kebanggaan.
“Kita Semua Basodara” Dengan aksen merah-hitam milik Persipura Jayapura.
“Salam Satu Jiwa, Indonesia” Warna biru putih mendominasi spanduk yang digelar oleh Aremania, suporter Arema Malang.
“Garuda Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika menyatukan kita mendukung Indonesia” Sebuah seruan nan heroik itu adalah milik Pasopati, Solo.
“Kami Datang Bukan untuk Mencari Musuh, Kami datang untuk mendukung Indonesia. Salam damai, Bobotoh.” Jelas spanduk berwarna biru itu milik Bobotoh suporter Persib Bandung.
“Warna Kita Memang Beda, Tapi Hati Kita Satu. Indonesia” Itulah spanduk berwarna hijau yang dibawa Bonek dari Surabaya.
“Kami juga Indonesia, Kawan!” Kata-kata yang simpel itu adalah spanduk milik Singa Mania, suporter Sriwijaya FC Palembang. Aku tidak bisa menyebutkan semua spanduk-spanduk yang berjajar rapi di tribune. Ada satu yang membuat aku tertegun, yaitu spanduk milik The Jack yang terpampang cukup panjang di balkon tribune VIP.
“Welcome to Jakarta, Brother! Kami The Jack dengan Bangga hati Menyambut Kedatangan Kalian Semua. Satu Indonesia.” Luar biasa bukan?
Spanduk-spanduk yang mereka tulis dengan ketulusan hati itu mampu meleburkan warna yang berbeda, menghilangkan gesekan-gesekan dan menyatukan segala identitas untuk menjadi satu Indonesia. Mereka memberikan contoh nyata tentang bagaimana esensi persatuan dan kesatuan yang sesungguhnya, tanpa banyak dialektika dan retorika. Stadion ini mampu menyatukan semuanya, stadion ini mampu menghilangkan sekat-sekat pembeda. Stadion ini mampu menyatukan euforia mimpi-mimpi seluruh elemen masyarakat yang mengharapkan Indonesia berkibar di angkasa raya. Bagiku stadion ini lebih indah daripada gedung DPR-MPR yang mengagungkan nasionalisme tapi sebenarnya penuh kemunafikan.
Aku semakin terbawa suasana ketika sebelas gladiator Indonesia memasuki lapangan. Mereka begitu gagah dengan lambang negara di dada, yaitu sang garuda. Mereka berbaris serta mengepalkan tangan ke dada sebelah kiri. Suasana semakin melebur ketika lagu kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan. Aku begitu merinding dan tak kuasa meneteskan air mata. Hatiku bergemuruh ketika tanpa di komando dan tanpa pemandu, sembilan puluhan ribu suporter serentak menyanyikan lagu kebangsaan itu.
// Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku//
// Marilah kita berseru! Indonesia Bersatu// (Lagu: Indonesia Raya, WR. Supratman)
Aku melihat banyak sekali suporter yang menitikkan air mata. Ada juga yang mengangkat tangan memberikan penghormatan. Semua khidmat dan larut dalam lantunan lagu Indonesia Raya. Inilah spirit persaudaraan yang timbul dari berbagai kultur yang ada di Indonesia. Inilah sebelas gladiator yang menyatukan seluruh masyarakat. Sembilan puluh menit yang merangkul pundak dari Sabang sampai Merauke.
Aku menyesal sekali kenapa selama sepuluh tahun ini telah membenci sepak bola. Kini bagiku sepak bola bukan sekedar permainan di dalam lapangan. Aku pun bisa menjadi bagian dari sepak bola walau hanya sebagai suporter.
Kini saatnya aku pulang ke Gorontalo. Tiga hari di Jakarta, aku menemukan banyak sekali pelajaran bermakna berupa bentuk nyata dari persatuan dan kesatuan Indonesia. Walau itu hanya tergambar melalui diorama yang kecil di dalam stadion beratap oval itu, tapi ini akan membekas. Kini aku mencintai sepak bola layaknya waktu aku kecil dulu. Aku mencintai Indonesia layaknya seluruh suporter yang memberiku gambaran tentang persatuan. Stadion Utama Gelora Bung Karno dan Jakarta telah membuka mata dan hatiku.
***
Oleh : Aditya D. Sugiarso
Diposkan oleh : Teddy Silvanus
0 komentar:
Posting Komentar