Sabtu, 09 Mei 2015

Cerpen "PURNAMA KE-7"

Sabtu, 09 Mai 2015






"PURNAMA KE-7"

Inilah hari pertamaku menginjakkan kaki di desa Lemah Dhuwur, dalam bahasa Indonesia Lemah Dhuwur bisa diartikan dengan tanah tinggi. Ya benar sekali, memang desa ini terletak di kaki gunung Lawu. Sebuah desa terpencil di atas Tawang Mangu. Aku ke desa ini untuk mengabdi sebagai guru wiyata bakti dari dinas pendidikan Karanganyar. Sekiranya aku akan mengabdi selama empat tahun. Waktu yang cukup lama untuk mengabdi di sebuah desa terpencil.
Desa ini sungguh alami, indah dan tentunya menyediakan udara yang cukup sejuk. Bahkan udara di sini bisa dikatakan dingin pada malam hari, apalagi saat musim hujan. Bibir ini pasti akan melepuhkan asap tipis setiap kita menghembuskan napas. Mayoritas warga di sini masih berprofesi sebagai buruh kebun, misalnya menggarap tanah untuk ditanami sayuran segar dan ada juga yang bekerja menjadi buruh di kebun kopi. Untuk mencapai desa ini kita harus berjuang ekstra keras karena medan yang di tempuh sangat sulit dan terjal. Bayangkan saja, kita harus berkendara off road dari Tawang Mangu selama hampir dua jam dengan medan menanjak dan jalannya masih berupa jalan tanah yang berukuran setapak kaki. Aku sampai jatuh bangun ketika hendak memasuki desa ini.
Desa ini hanya dihuni sekitar dua ratus kepala keluarga. Dulu mereka sempat akan di relokasi ke daerah yang lebih mudah dijangkau, tapi mereka menolak usulan pemerintah dengan alasan faktor adat dan kepercayaan bahwa mereka memang harus tinggal di desa ini. Selama aku di sini nantinya aku akan tinggal di rumah inventaris dari pemerintah. Di rumah itu sudah ada mantri yang tinggal, namanya Pak Mantri Anwar. Nantinya rumah itu akan disekat menjadi dua, sekat pertama untuk Pak Mantri dan tempat prakteknya sementara aku tinggal di sekat yang satunya. Pak Mantri sendiri sudah sembilan tahun mengabdi untuk desa ini, tapi sayang pengorbanannya belum dibayar dengan pengangkatan sebagai pegawai negeri. Aku tidak bisa membayangkan betapa beratnya tugas Pak Mantri, beliau harus mengabdi sebagai satu-satunya tenaga medis di desa terpencil ini sedangkan untuk gaji bulanan beliau harus mengambilnya di kantor pos Tawang Mangu.
Sementara waktu ini aku masih menikmati suasana di sini yang sejuk, indah, asri serta jauh dari hiruk-pikuknya kesemprawutan kota. Aku bisa membuat tubuhku rileks dengan nuansa yang aku rasakan ini, sejuk. Desa ini terletak di ketinggian 1500 meter di atas permukaan laut. Kalau aku ingin pergi rekreasi maka aku bisa turun ke Tawang Mangu untuk menikmati indahnya air terjun Grojongan Sewu.
Awalnya aku mengira bahwa aku akan mengajar di sebuah sekolahan. Ternyata aku hanya mengajar di bedeng bekas peternakan ayam. Muridnya pun tidak sebanyak yang aku kira. Muridku hanya anak-anak usia SD yang berjumlah dua puluhan anak. Di desa ini aku mengajarkan semua mata pelajaran. Anak-anak di sini sangat antusias untuk belajar dan hal itu mampu melejitkan semangatku._
Malam itu terasa sangat dingin hingga menyengat sumsum tulangku. Maklum sekarang sudah musim basah, jadi kalau malam di desa ini sangat dan teramat dingin. Aku harus memakai jaket wol tebal dan kaos kaki untuk menahan gempuran hawa yang menyerangku. Bahkan saat malam semakin hening suara angin pun sangat terdengar jelas. Kelebat daun-daun juga membuat pola suara tersendiri. Bagiku malam-malam di desa ini sangatlah mencekam. Tak ada orang berlalu lalang di jalan, mereka semua sibuk menghangatkan badan di dalam rumah. Kecuali kalau sedang ada rapat warga di pendapa maka mereka baru keluar untuk berkumpul bersama-sama.
Aku tak bisa memejamkan mata, padahal jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Asap tipis juga tak henti-hentinya keluar dari sela bibir dan hidungku. Lamat-lamat aku mendengar suara seperti orang menangis. Aku benar-benar mendengar seorang wanita menangis. Aku merinding dan bulu kudukku langsung berdiri. Aku menutup seluruh badanku dengan selimut. Aku semakin takut ketika aku mengintip dari celah-celah pagar yang terbuat dari anyaman bambu, aku tak mendapati siapa pun. Aku hanya melihat bulan purnama yang sempurna bulat dengan warna pucat itu mengintip dari balik rimbunnya pohon belantara. Nyaliku semakin ciut ketika aku mengingat bahwa aku berada di kaki gunung Lawu yang pesohor dengan segala unsur klenik dan mitos-mitos yang berkuasa di gunung ini. Baru kali ini aku mendengar suara tangisan itu setelah empat bulan aku mengabdi di sini. Suara itu semakin jelas merintih. Apa mungkin tangisan itu dari salah satu rumah warga? Apa mungkin? Rumah dinas ini berada paling ujung dan paling tinggi di antara rumah warga yang lain. Jarak rumah warga yang paling terdekat berkisar 25 meter dari rumah dinas ini. Mana mungkin itu tangisan warga? Tangisan itu bukan milik seorang bayi. Tangisan itu jelas keluar dari wanita dewasa. Malam ini benar-benar malam panjang bagiku. Apa hanya aku yang mendengar? Apa semua warga mendengar? Aku tetap memaksa mataku untuk benar-benar bisa terpejam.
Paginya aku sangat lunglai karena perasaan mengantuk yang merajai diriku. Aku lemas dan tidak semangat untuk mengajar, tapi demi anak-anak polos dan tak berdosa itu aku tetap berangkat mengajar. Kali ini aku mengajar sangat cepat, anak-anak aku pulangkan lebih awal dengan alasan badanku sedang tidak enak. Mereka semua berjingkrak kegirangan karena mereka bisa bermain lebih awal. Aku lantas pulang menuju rumah dinas. Aku mampir ke tempat praktek Pak Mantri yang tak lain adalah sekat di samping tempat tinggalku.
“Loh kok sudah pulang?” Tanya Pak mantri kepadaku.
“Iya Pak, semalam saya tidak bisa tidur. Jadi sepertinya sekarang meriang.” Jawabku singkat.
“Kenapa tidak bisa tidur? Mikirin apa? Apa sudah tidak betah di sini?”
“Ah nggak juga, Pak. Saya juga nggak tahu kenapa tadi malam tidak bisa tidur. Maaf Pak, ada obat untuk meriang dan sakit kepala?”
“Oh ya jelas ada to, namanya juga tempat praktek mantri.” Terlihat Pak Mantri sedang meracik obat untukku. Beliau terlihat memilah-milah stoples berwarna putih dengan label nama masing-masing. Setelah menemukan racikannya, belia segera memberikannya kepadaku.
“Maaf Pak, saya mau langsung pulang dulu. Saya mau istirahat.”
“Silakan dan semoga lekas sembuh.”
Aku langsung masuk ke dalam kamar. Aku masih terbayang dengan suara tangisan yang mengerikan itu. Dari pembicaraan tadi sepertinya Pak Mantri tidak mendengar tangisan tadi malam karena beliau tidak sekali pun membahas hal itu, padahal aku sudah memberikan sinyal yang mengarah ke pembicaraan tentang tangisan itu, tangisan memekikkan telinga yang terdengar di malam bulan purnama. Aku tak terlalu memikirkan hal itu, mungkin itulah salam perkenalan untuk diriku. Mungkin mereka ingin memperkenalkan diri kepadaku tapi mereka tidak tahu cara yang tepat untuk melakukannya.
Hari terus berlalu, bulan juga cepat berganti. Lagi-lagi aku mendengarkan suara tangisan yang dalam dan memilukan. Lagi, tangisan yang sudah lama tidak aku dengar kini kembali menghantuiku. Lamat-lamat suara itu jelas sekali terdengar di telingaku. Suara seorang wanita menangis. Lagi-lagi suara tangisan itu tidak bisa membuat aku memejamkan mata karena ketakutan. Gila, ini bukan halusi, ini benar-benar nyata terdengar dengan jelas menelusup di sunyinya malam hutan pegunungan Lawu. Tangisan itu cukup jelas dan aku yakin Pak Mantri yang tinggal tepat di sebelahku juga mendengar. Apa hanya aku yang mendengar tangisan itu?
Paginya aku benar-benar memberanikan diri untuk bertanya kepada Pak Mantri tentang tangisan di malam purnama itu. Aku hanya ingin tahu apakah Pak Mantri juga mendengar tangisan itu. Kalau tidak? Berarti hanya aku yang benar-benar mendengar tangisan itu.
“Pak, tadi malam saya nggak bisa tidur lagi, nih.” Paparku membuka pembicaraan.
“Loh memangnya kenapa?”
“Saya tadi malam mendengar tangisan, Pak. Tangisan itu entah dari mana datangnya. Tangisan itu sangat memilukan. Sudah dua kali ini saya mendengar tangisan seperti itu di sini.”
“Oh tangisan itu.” Pak Mantri menatapku tajam. Aku semakin ciut melihat sorotan itu.
“Ada apa dengan tangisan itu, Pak? Apa Pak Mantri juga mendegarnya?” Tanyaku antusias.
“Jelas, saya mendengarnya. Bahkan seluruh warga di kampung ini mungkin juga mendengar suara tangisan itu. Tangisan itu muncul pada purnama ketujuh sejak lima tahun yang lalu. Suara itu datangnya dari bukit sebelah, di sana terdapat gubuk dan mata air. Warga mempercayai kalau tangisan itu adalah roh penasaran dari seorang wanita yang sengaja bunuh diri di mata air itu. Sekarang sudah menjadi penghuni di gubuk itu. semua warga tidak ada yang berani mendekati mata air itu. Tapi itu hanya mitos yang berkembang di masyarakat. Benar dan tidaknya saya juga tidak tahu? Yang pasti setiap purnama ketujuh desa ini bagai desa mati, seluruh warga enggan keluar di malam hari.” Aku hanya tergugu dan termangu mendengar penjelasan singkat dari Pak Mantri. Rupanya mitos keangkeran Lawu sudah menghinggapi diriku. Sudah dua kali aku mendengar suara tangisan itu. Mengerikan sekali!
Rasa penasaranku belumlah sepenuhnya terobati kalau aku hanya mendengar dari penuturan Pak Mantri saja. Aku terus mencoba mencari informasi dari beberapa warga asli kampung. Aku ingin membuktikan kesahihan penuturan Pak Mantri. Ternyata setiap warga yang aku temui sepaham dan satu suara dengan Pak Mantri, bahwa suara itu adalah suara roh gentayangan. Lebih parah lagi ditambahi dengan bumbu-bumbu mistis. Mulai dari roh itu akan mencari mangsa darah perawan, ada pula yang berpendapat bahwa wanita itu sebelumnya diperkosa terlebih dahulu dan setelah itu dibunuh dan dibuang di mata air itu. Cerita-cerita yang timbul di masyarakat itu bersumber dari penuturan Mbah Karso yang pernah mendatangi gubuk itu di malam purnama ketujuh, Mbah Karso menceritakan kalau beliau melihat wanita yang sangat cantik menangis di samping gubuk. Tapi wanita itu mengenakan baju putih serta lirikannya tajam sehingga membuat Mbah Karso tunggang-langgang. Aku lantas segera mendatangi rumah Mbah Karso untuk mendengar ceritanya langsung.
“Dulu saya benar-benar penasaran dengan suara itu. lantas saya memberanikan diri untuk datang ke mata air itu.” Mbah Karso mengingat kembali pengalamannya itu. Mbah Karso yang terlihat sudah tua itu masih semangat menceritakan pengalamannya. Sesekali beliau menghisap pipa cerutu di antara celah bibinya yang sudah mengeriput jelas. Jenggot putihnya yang panjang menambah kesan tua semakin jelas terlihat.
“Lalu apa yang Mbah Karso lihat?” Tanyaku pada beliau. Sambil sesekali membetulkan posisi blangkonnya, beliau menuturkan kembali.
“Saya pergi menuju mata air itu sendirian, saya berjalan kurang lebih satu jam untuk mencapai mata air itu. Semakin dekat suara itu semakin jelas terdengar. Di bawah sinaran purnama yang menyusup di rimbunnya dedaunan hutan, saya terus membulatkan tekad untuk mencapai mata air itu. Saya hanya ingin mengetahui dari mana suara itu? setelah semakin dekat dengan gubuk itu, saya semakin menghaluskan langkah saya. Saya menyusup dari satu pohon ke pohon yang lain. Gubuk itu sudah sejengkal di atas saya, saya mengintip dari bawah pohon.” Mbah Karso menghela napas sejenak.
“Lalu apa Mbah?” Tanyaku bagai wartawan majalah misteri.
“Saya benar-benar melihat wanita cantik menangis di depan gubuk. Rambutnya terurai panjang. Baru sebentar saya melihat, tiba-tiba dia melirik ke arah saya. Saya melihat matanya merah, saya langsung berlari karena ketakutan. Saya beberapa kali terpeleset dan jatuh tapi saya tidak menghiraukan. Saya hanya berpikir bagaimana secepatnya bisa sampai ke kampung lagi. Mungkin dia tahu kehadiran saya! Setelah kejadian itu saya sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki ke mata air itu.” Mbah Karso mengakhiri ceritanya dengan satu hisapan panjang pada pipa cerutunya.
“Mbah, apa jalan menuju mata air itu masih ada? Kalau ada di mana?” Tanyaku lagi.
“Jalan itu masih ada, tapi mungkin kondisinya sudah tertutup ilalang atau semak belukar. Sudah sejak lama jalan itu tidak pernah dilalui warga. Warga enggan datang ke mata air itu lagi. Jalan itu letaknya tepat di belakang rumah dinas yang kamu tinggali bersama Pak Mantri. Nanti akan ada patok kayu dan ikuti jalan menanjak itu!” Jelas Mbah Karso.
“Terima kasih Mbah atas informasinya.”
“Saya himbau agar kamu tidak menuju ke mata air itu.” Mbah Karso memperingatkan diriku.
***
Hari-hariku semakin diusik oleh tangisan itu, di satu hati aku sangat takut dengan hal itu tapi di satu sisi aku ingin sekali membuktikan benar tidaknya mitos tersebut. Tangisan itu sangat hidup dan seolah itu adalah tangisan manusia bukan tangisan dari makhluk astral. Aku ingin sekali membuktikan tangisan itu. benarkah yang dipercayai semua warga atau ada fakta lain yang ada di balik tangisan itu.
Aku mengutarakan niatku untuk membuktikan hal itu kepada Pak Mantri. Tidak cuma mengutarakan tapi aku juga berniat untuk mengajak beliau menemaniku. Aku mencoba memberikan alasan logis di tinjau dari segi ilmu pendidikan dan aku yakin Pak Mantri juga akan sepaham. Dugaanku meleset, Pak Mantri dengan keras menolak ajakanku. Dia beranggapan lebih baik tidak menyentuh atau menyinggung hal-hal semacam itu. Baginya mitos itu memiliki kekuatan yang kuat dan memang pada dasarnya mitos tidak bisa disandingkan dengan ilmu pendidikan.
Aku memantapkan hati bahwa aku akan pergi ke mata air itu pada purnama ketujuh yang ketiga bagiku. Aku hanya ingin melihat secara langsung sumber tangisan itu. tekadku sudah bulat. Aku menyiapkan segalanya, jaket, sepatu bot, jas hujan serta senter. Aku bukanlah tipe lelaki yang berani dengan hal-hal mistik tapi rasa penasaran itu telah menggelapkan mataku.
Tepat di purnama ketujuh yang ketiga, aku telah menyiapkan mentalku. Sedari sore aku sudah menyiapkan berbagai benda yang harus aku bawa untuk menuju gubuk di bukit sebelah. Senter, Jas hujan, sepatu bot, lampu badai dan sebilah parang, itulah benda yang aku butuhkan nanti. Tepat setelah matahari menyenja di ufuk barat, aku sudah siap. Mungkin inilah hal paling gila yang pernah aku lakukan. Pukul delapan malam aku mulai keluar rumah untuk berjalan menuju patok kayu yang dimaksud Mbah Karso. Jalanan itu telah berlumut dan tentunya sangat licin. Apalagi ditambah gerimis yang baru saja mulai mengguyur pegunungan ini. Aku sudah menemukan patok itu. Aku mengikuti jalan setapak itu untuk menuju ke bukit sebelah.
Jalan yang harus aku lalui itu sudah tertutup oleh rimbunnya ilalang dan semak belukar. Sesekali parangku harus menebas-nebas mengayun mengikuti irama tanganku. Satu dua dahan harus aku potong karena menghalangi pandanganku. Nyala lampu badai yang aku bawa semakin kembang-kempis menerima hempasan angin malam dan rintik gerimis. Inilah pertama kalinya aku menyusuri hutan belantara di malam hari.
Sial bagiku, aku salah menginjak batu, pijakanku runtuh dan aku terpeleset. Tubuhku limbung dan akhirnya mendarat tepat di tanah yang berlumut. Lampu badai yang aku bawa langsung memejamkan nyalanya. Sial, sial, sial, pekikku dalam hati. Aku pun lupa tak membawa korek, jadilah aku harus menyusui perjalanan ini tanpa penerangan. Aku hanya mengandalkan cahaya bulan purnama yang redup karena ditutupi oleh mendung. Aku hanya melangkah ke depan. Aku berpikir untuk kembali lagi ke kampung, tapi tanggung karena aku sudah jalan cukup jauh.
Aku mulai mendengar tangisan itu. Tangisan itu benar-benar hadir kembali tepat di purnama yang ketujuh. Hatiku semakin ciut dibuatnya, gila apa aku akan melihat apa yang dilihat Mbah Karso? Wanita misterius berbaju putih itu. Mendengar tangisan itu, aku sempat berhenti sejenak untuk memantapkan hatiku. Aku terus melangkah menanjak. Suara tangisan itu kini telah di pecah oleh suara gemericik air. Kata Mbah Karso, jika sudah menemukan sungai kecil maka sebentar lagi akan sampai di mata air dan gubuk itu. hatiku semakin mengempis karena aku benar-benar mendapati sungai yang dimaksud itu. Aku s semakin dekat dan apa aku akan sekuat Mbah Karso untuk menyaksikan hal itu?.
Tangisan itu semakin keras terdengar, bahwa itu menandakan jarakku sudah sekian dekat. Dekat dan mungkin sangat dekat. Aku benar-benar menghaluskan langkahku agar tak menciptakan suara yang keras. Aku takut akan ketahuan! Aku melihat sebuah pohon besar seperti yang diceritakan Mbah Karso. Aku menelusup di bawah pohon itu dan memposisikan diriku layaknya pasukan perang yang sedang mengintai musuhnya. Aku terdiam cukup lama dan aku tak langsung melihat ke arah gubuk itu. Aku mengumpulkan semua nyali yang ku miliki. Lama sekali aku termangu dan terdiam di bawah pohon itu, hingga akhirnya aku sedikit mendongakkan kepalaku di antara akar-akar yang menjuntai-juntai.
Mataku terbelalak dan tak mampu berkedip sekali pun. Aku seolah dihipnotis dengan apa yang telah aku lihat. Lamat-lamat aku melihat seorang wanita berada di depan gubuk itu. Wanita memakai baju terusan putih dan rambutnya tergerai panjang. Wanita itu menari-nari dengan gemulai, tubuhnya dengan indah melekuk-lekuk layaknya penari gambyong profesional. Tangannya dengan anggun melentik dan melingkar, tapi dalam indahnya gerakan tari itu, wanita itu terus menerus menangis.
Nyaliku sudah teramat ciut melihat hal itu, kakiku juga seolah ingin segera melangkah dengan cepat. Tapi otakku memerintahkan untuk tetap diam dan memaku di sini. Aku bukan Mbah Karso yang langsung memilih untuk lari dan pulang. Aku mengamati wanita itu dari ujung kepala sampai ujung kakinya. Kakinya, aku melihat kedua kaki wanita itu dengan sempurna menapak di tanah. Kakinya jelas menapak di tanah! Bukan setan, benakku dalam hati. Wanita itu bukanlah setan, aku meyakini itu.
Wanita itu masih dengan gemulai terus menari-nari dan terus pula mengeluarkan tangisan nanarnya. Wanita itu berputar-putar dengan anggun. Siapakah dia? Tanyaku dalam hati. Wanita itu kini lunglai duduk di tangga gubuk itu, dia terus menangis hingga memekakkan telingaku. Dia melirik-lirik ke segala penjuru arah seperti mencari sesuatu.
Malam semakin larut dan bulan purnama telah sempurna berada di atas kepalaku. Kini sudah tidak ada mendung yang menggelayuti sang purnama itu. purnama itu begitu sempurna dengan warnanya yang sedikit memerah kejora. Aku juga melihat dengan jelas rona yang ada di permukaan bulan itu, yaitu seperti orang yang duduk dalam posisi tahiyat pada gerakan salat. Kini aku kembali melihat wanita itu, dia kini telah memasuki gubuk itu. Tangisannya telah terhenti membuat suasana kembali sunyi senyap. Hanya jangkrik dan serangga malam yang suaranya terdengar di telingaku.
Aku hanya bisa menunggu. Aku bingung, akan kembali pulang atau mendekat ke gubuk itu. Aku yakin bahwa wanita itu bukanlah setan. Aku menunggu termangu hampir setengah jam lamanya. Aku kembali memantapkan hati untuk mendekat ke gubuk itu. akhirnya dengan perlahan aku melangkah mendekat menuju gubuk itu. Aku haluskan lagi langkahku agar suara derik sepatu botku tidak mengusik ketenangan wanita itu. Perlahan sekali aku menaiki tangga gubuk itu, aku mulai menyusup untuk mengintip ke dalam gubuk.
Aku melihat wanita itu terbaring di tengah gubuk. Aku melihat wanita itu memejamkan mata, mungkin dia tertidur setelah capai menari dan menangis. Aku memberanikan diri untuk masuk ke dalam gubuk itu. Aku menemukan beberapa carik kertas di dinding gubuk. Aku mengambil kertas-kertas itu dan membawanya keluar untuk mengetahui apa yang tertulis di kertas-kertas itu. lamat-lamat aku membaca tulisan dalam kertas itu dengan bantuan cahaya purnama yang menerangi walau redup.
Aku tak percaya dengan tulisan-tulisan yang ada di kertas itu. Tulisan itu ditulis dengan gaya latin yang sangat rapi dan indah. Aku yakin bahwa yang menulis adalah wanita yang ada di dalam gubuk itu. Aku tahu bahwa wanita itu bernama Sri Wartini. Selama ini dia menunggu kedatangan seorang laki-laki yang bernama Rozak. Tulisan-tulisan itu menjelaskan bahwa Rozak akan pergi merantau ke Solo untuk mencari modal demi menikahi Sri. Rozak telah berjanji untuk menemui Sri pada purnama yang ketujuh dan Rozak berjanji akan segera menikahi Sri.
Setiap kali purnama ketujuh, Sri selalu menulis tentang penantiannya. Purnama pertama dia menulis dengan setia akan menunggu Rozak datang, walau akhirnya dia hanya bisa menangis karena Rozak tidak datang di purnama ketujuh yang pertama. Aku benar-benar merasakan ketulusan seorang wanita yang dibuai janji-janji manis seorang lelaki.
Di purnama kedua Sri menulis, bahwa semua telah dia berikan kepada Rozak termasuk tahta kehormatannya sebagai wanita. Tapi di purnama ketujuh yang kedua Rozak juga tidak kunjung datang. Padahal dalam menantikan di purnama ketujuh yang kedua ini Sri telah menari-nari demi menyambut Rozak datang. Tapi lagi-lagi dia tak datang juga. Di akhir tulisan Sri berpesan. “Mas, jangan buat aku gila dengan menunggumu di bukit dan gubuk ini”. Akhirnya di purnama ketujuh yang kedua dia hanya bisa menangis lagi. aku bisa merasakan betapa Sri benar-benar mengharap kedatangan Rozak.
Di purnama ketujuh yang ketiga Sri menulis, bahwa sudah tiga kali purnama ketujuh dia selalu datang ke bukit dan gubuk ini demi menantikan kehadiran lelaki idaman bernama Rozak. Sri juga menulis kalau dirinya sudah hampir gila. Setiap purnama ketujuh dia berjalan dari rumah untuk menuju bukit itu. Sri hanya mengharapkan kalau Rozak benar-benar hadir. Tapi di malam purnama ketujuh yang ketiga dia juga tidak kunjung datang menemui Sri. Di akhir tulisannya Sri menulis: “Aku benar-benar hampir gila menantimu di sini, Mas”. Membaca tulisan itu aku dapat merasakan betapa Sri sangat merindukan dan mencintai Rozak. Tapi alangkah jahatnya Rozak yang telah mengingkari janjinya sendiri.
Aku tak menemukan tulisan Sri di bulan purnama ketujuh yang ke empat dan seterusnya. Tulisan itu berhenti sampai di purnama ketujuh yang ketiga. Aku yakin bahwa di purnama ketujuh yang ke empat, Sri benar-benar telah dibuat gila oleh Rozak. Aku menyadari betapa lemah Sri sebagai seorang wanita. Dia menggilai lelaki yang telah membuatnya gila. Andai lelaki itu tahu betapa Sri mencintainya, mungkin dia tidak akan melakukan hal ini.
Aku kembali masuk ke dalam gubuk, melihat dengan seksama Sri yang telah tertidur capai. Aku melihat dengan pandangan nanar ke arahnya. Dia sungguh cantik, aku mengusap wajahnya yang dekil hingga bersih. Hidungnya mancung, alisnya tebal menghitam, bulu matanya lentik, bibirnya merah tipis. Dia sangat cantik untuk ukuran gadis desa, sayang kini dia telah gila karena menggilai lelaki yang membuatnya benar-benar telah membuatnya gila. Aku tak tega meninggalkan Sri sendirian di gubuk itu menantikan lelaki yang dia gilai.
Dengan rasa iba, haru dan perasaan kagum atas kesetiaan Sri, aku menggendongnya untuk aku bawa ke kampung. Aku tak tega membiarkan dia semakin gila karena lelaki yang dia gilai itu. Perlahan kakiku semakin menapak menuruni bukit, aku menggendongnya erat. Dia tak terbangun sama sekali, dia terlalu pulas atau mungkin terlalu capai. Aku dapat merasakan hangat napasnya di tengkukku. Di bawah sinar rembulan purnama yang mulai membarat, aku menggendongnya dengan bercucuran peluh. Aku tak peduli betapa capainya diriku, aku hanya tak ingin Sri semakin gila di bawah purnama ketujuhnya. Menjelang akhir fajar yang berdekatan dengan subuh, aku sampai di rumah dinas dengan tegopoh-gopoh. Aku baringkan dia di kasurku agar dia merasa lebih hangat dan nyaman.
Dalam serangan dingin yang membabi buta, aku membangunkan Pak Mantri. Aku minta obat penenang untuk Sri. Aku menceritakan semua tentang Sri, mungkin ceritaku juga tidak sepenuhnya benar karena aku hanya menyimpulkan dari tulisan-tulisan yang tertempel di dinding gubuk itu. Satu yang pasti, dialah tangisan di malam purnama ketujuh yang menggemparkan seluruh penjuru kampung. Bukan setan atau siluman, tapi tangisan itu adalah tangisan kerinduan dari Sri kepada lelaki yang membuatnya gila.
Paginya, dengan disaksikan warga desa, aku dan Pak Mantri akan membawa Sri ke Rumah sakit jiwa. Aku berharap Sri dapat sembuh dan dapat melupakan lelaki yang telah membuatnya gila itu. Aku berharap Sri tidak akan lagi menangisi dan mencumbui purnama ketujuh miliknya. Aku berharap sekali lagi bahwa Sri bisa menjadi wanita cantik dengan alis yang tebal menghitam seperti sedia kala. Aku ingin Sri kembali sebagai wanita cantik yang memiliki tulisan dengan tipe latin yang rapi dan halus. Sri sadarlah, purnama yang ketujuh yang kau cumbui itu bukanlah milikmu. Lupakanlah lelaki yang kau gilai itu, lelaki yang telah benar-benar membuatmu gila._
Karangawen, 17 0ktober 2011


Oleh : Aditya Dedi Al-Farisi
Diposkan oleh : Teddy Silvanus

0 komentar:

Posting Komentar