Jumat, 15 Mei 2015

Cerpen "PARIS, EIFFEL DAN SEPENGGAL KISAH"

Jum'at, 15 Mai 2015




"PARIS, EIFFEL DAN SEPENGGAL KISAH"

"Uda, masihkah kau ingat tentang Paris?"
"Uda, masihkah kau ingat tentang masa kecil kita yang selalu bermimpi untuk bisa pergi ke Paris?"
"Uda, masihkah kau ingat betapa kita dibuat takjub saat Wak Toli guru IPS kita bercerita tentang indahnya Paris? Padahal, Wak Toli sendiri pun belum pernah ke sana. Dia mahir nian bercerita layaknya sales obat cacar di Pasar Parambu. Kita para muridnya hanya bisa berdecak kagum saat Wak Toli memperlihatkan gambar Menara Eiffel, Paris. Gambar itu keliling dari meja ke meja agar kita dapat melihat dengan seksama. Waktu itu kelas kita dibuat riuh redam karena semua murid berebut untuk bisa melihat gambar yang berukuran bingkai foto 5R itu. waktu itu kita masih kelas empat di SD Impres 1 Nagari Minang, Tanah Datar.
“Amboi, indah nian tempat macam tu.” Itulah yang terucap dari mulut kita ketika gambar itu telah sampai di meja kita. Aku masih ingat betul dengan gambar itu, menara Eiffel yang mengerucut ke atas dengan dikelilingi cahaya lampu yang berpendar terang di setiap sisi-sisi kaki bajanya. Setelah beranjak dewasa baru aku tahu kalau ternyata gambar yang dibawa Wak Toli didapat saat beliau mengikuti penataran pendidikan di Jakarta. Alangkah mulia Wak Toli, beliau membawa oleh-oleh untuk kami yang terus terkenang walau sudah berpuluh tahun masa itu berlalu. Terutama untuk kami, awak dan Uda Marbu. Entah setan apa yang merasuki diri kami hingga gambar itu terus berputar-putar dalam imaji masa kecil kami. Paris, Eiffel. Eiffel, Paris. Hanya itu yang selalu kami bahas di mana pun berada.
“Kaniak.... Kaniak..... Ado yang mau aku tunjukan padamu. Begageh! ” (Ke sini..... Ke sini… Cepat.). Aku masih ingat betul waktu Uda Marbu memanggilku dengan nada berteriak-teriak. Waktu itu dia ingin menunjukkan sebuah buku yang dibelikan Pakcik di Pasar Parambu. Begageh aku segera berlari menuju rumah Gadang milik Uda Marbu, dengan bangga dia menunjukkan sebuah buku bertuliskan “Atlas Dunia”.
“Apo kao mau lihat di mana letak kota Paris?” Uda Marbu menanyaiku dengan raut wajah berseri penuh senyum. Aku hanya bisa menganggukkan kepala.
“Caliak (Lihat), Paris itu ado di nagari Prancis, Eropa. Itu sangat jauh dari sini” Aku hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Uda Marbu yang selayaknya sebagai pemandu wisata. Sejak saat itu hari-hari kami semakin dibuai dengan mimpi tentang Paris. Semakin bertambah umur kami, mimpi itu pun semakin melesat pesat bak roket Appolo 11 yang digadang-gadang sebagai pesawat tercanggih di masanya.
Aku dan Uda Marbu semakin bernafsu dan menggebu. Kami bagai dua buah anak panah yang tinggal menunggu waktu yang tepat untuk melesat lepas dari busur. Jelas, busur yang kami maksud adalah tempat kami sekarang ini, Tanah Datar. Sedangkan lesatan itu kami artikan sebagai jalan menggapai tujuan ke depan. Apa lagi kalau bukan Paris. Demi memuluskan ambisi menggapai Paris, kami berdua harus pergi jauh dari Tanah Datar. Kami pergi merantau menuntut ilmu ke Medan dan sekolah di Sekolah Kejuruan Pariwisata, Medan. Kami jelas berpikir jika sekolah pada pariwisata maka kami bisa keliling dunia sebagai pemandu wisata. Ah singkat nian pemikiran kami dulu. Sudah jamak memang, Urang Awak atau orang Minang pergi merantau ke luar daerah begitu juga dengan kami. Merantau adalah identitas diri bagi kami, merantau bisa diartikan sebagai speedometer kesuksesan baik itu berdagang, bekerja ataupun menuntut ilmu sekalipun.
Awalnya kami sangat kepayahan hidup di perantauan. Terlebih mengenai biaya hidup yang tak pernah bisa diajak kompromi. Belum lagi sesekali dua kali wesel dari orang tua kami yang telat untuk dikirim karena kain tenun mereka belum laku, sudah jelas hal itu mampu membuat kami migren tujuh kepalang. Tapi kami punya siasat jitu untuk mengatasi rasa frustrasi itu, yaitu kami membeli poster berukuran jumbo dan kami tempel di belakang pintu kamar kos kami. Tak perlu aku jelaskan gambar apa yang ada dalam poster itu? Ah.... Kalian pasti sudah bisa menerka gambar itu. Satu yang pasti gambar itu bukanlah wajah berjambang Elvis Presley, bukan sekedar tahi lalat indah Monroe, bukan pula rambut gimbal bak alas kaki “Welcome” dari ijuk yang dipilin milik Jim Hendrix dan Bob Marley. Kalian juga pasti salah kaprah jika sudah kepalang tanggung menebak itu adalah poster jumbo sang satria bergitar, Kelana 1 atau kelana 2 Bang Oma Irama. Tahukah kalian itu jelas poster jumbo gambar Eiffel, Paris. Ketika aku dan Uda Marbu mengalami masa sulit yang dulu kami sebut dengan masa migren, kami hanya duduk bersila menghadap poster itu sambil berangkulan menyatukan mimpi untuk pergi bersama ke Paris. Paris jugalah yang menggiring kami sampai sekolah pariwisata di Medan nan jauh di mato.
Walau dengan perjuangan kembang kempis “Kadang perut berkembang, kadang perut mengempis” Akhirnya kami menyelesaikan sekolah kami dengan nilai yang cukup membuat kami puas bukan kepalang. Ah.... Tapi tak tahu pula apa nilai seperti ini akan membuat orang tua kami puas? Ciut juga rasanya memikirkan hal itu. Kami pulang ke Tanah Datar dengan sebuah mimpi baru yaitu kapan kami akan berangkat ke Paris. Naif sekali kami memikirkan hal seperti itu, bagaimana tidak? Modal apa yang akan kami gadaikan untuk pergi ke sana?
Aku dan Uda Marbu segera menyusun strategi 1001 jalan menuju Paris, dari strategi yang bisa dipertanggungjawabkan kesahihannya yaitu dengan merantau dan bekerja mencari modal untuk pergi ke Paris sampai strategi yang jauh dari takaran nalar sehat yaitu membuat rute di Atlas Dunia menentukan jalur terdekat untuk berjalan kaki atau menjadi back packer sekalipun menuju Paris. Sekali lagi aku tak tahu setan apa yang telah merasuk dan merusak sistem saraf kami hingga seperti ini.
“Uda, ingatkah kau saat kita berdua belajar Silek Minang dengan Datuk Umai?”
“Uda, ingatkah kau saat pergelangan tanganku melesat karena salah jatuh saat latihan?”
“Uda, aku harap kau tetap mengingat setiap jengkal penggalan cerita kita tentang Paris”
Setelah kami pulang ke Tanah Datar kami berlatih Silek Minang. Silek Minang adalah seni ilmu bela diri tradisional Minang, layaknya Pencak Silat yang termasyhur di Jawa. Sewajarnya perjaka Minang lainnya, kami juga harus menguasai Silek Minang sebagai bekal diri sebelum merantau di tanah orang. Bukan untuk sombong diri tapi sekedar berjaga dari kemungkinan yang ada. Silek Minang sejatinya bukan untuk menyakiti. Teorinya hanya tangkis, hindar dan kunci. Menangkis serangan lawan, menghindari cidera fatal dan mengunci lawan untuk bertekuk lutut. Sebuah cara berkelahi yang terhormat. Setelah kami belajar secara mahir, kami diuji oleh Datuk Umai yang mengajar kami. Hal ini untuk mengetahui apakah kami lulus dan layak untuk merantau meninggalkan tanah leluhur.
Aku masih ingat betul saat kami bingung memutuskan untuk merantau ke mana? Banyak daftar kota di catatan kami, hampir semua nama kota di Indonesia berbanjar dengan rapi. Tapi, kami tetap mencari yang kota berhubungan dengan Paris. Amboi, aku pikir kami ini sudah gila! Mana ada kota di Indonesia yang berhubungan dengan Paris? Dengan proses yang alot akhirnya kami menemukan dua pilihan besar. Semarang dan Bandung! Kenapa kami memilih Semarang karena julukan kota tu adalah Semarang kota Atlas. Kalian pasti tahulah betapa kami senang dengan buku yang bertuliskan “Atlas Dunia”. Dari Atlas itulah kami bisa tahu di mana letak kota Paris. Ah kalau cuma tahu tempatnya sajo, bagaimana kita bisa ke sana? Semua orang juga tahu di mana kota Paris. Kami memutuskan untuk mencoret kota Semarang dari tujuan rantau kami. Bandung adalah keputusan terakhir kami sebagai tujuan merantau kami. Paris Van Java, itulah julukan bagi Kota Kembang Bandung. Tahukah kalian? Julukan itulah yang mendasari kami pergi ke sana. Setidaknya sudah ada kata “Paris” yang mengawali langkah baru kami. Itu sudah lebih dari cukup untuk membuat jantung kami semakin berdetak kencang. Sampai di Bandung kami tak tahu harus melakukan apa? Kota ini terlalu besar dan mewah. Memang semasa SMK dulu kami tinggal di Medan tapi itu masih pinggiran. Kami mencoba peruntungan mencari pekerjaan di biro-biro perjalanan atau agen travel. Hampir setengah tahun lamanya kami tak dapat kerja yang kami inginkan yaitu sebagai Tour Gidue. Kami juga bekerja sebagai kuli panggul di Pasar Cihampelas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hingga akhirnya kami mendapatkan pekerjaan di sebuah biro perjalanan pariwisata skala Internasional. Awalnya kami hanya bekerja sebagai staf pemesanan tiket domestik tapi setahun berikutnya kami sudah diangkat menjadi Junior Domestik Tour Leader yang hanya melayani line dalam negeri saja. Pangsa pasar kami pun masih sebatas anak sekolah yang berwisata ke Bali, Lombok, Yogyakarta dan kota-kota lain.
Urang Awak tak pernah mudah puas pada sebuah pencapaian yang diraihnya. Begitu pun dengan kami tak pernah puas dengan hanya berkelana di dalam negeri. Kami memutuskan untuk meneruskan jenjang pendidikan pada Jurusan Pariwisata di Institut Pariwisata Parahiangan, Bandung. Selain itu kami juga kursus kilat menguasai bahasa Mandarin, Arab, Jepang, Inggris dan sudah barang tentu Prancis pula. Praktis kami hanya memiliki waktu belajar hari Selasa sampai Kamis karena hari-hari itulah kami ada waktu senggang. Lima tahun kami berkutat dengan pekerjaan dan setumpuk buku-buku serta kamus-kamus bahasa yang kami tak yakin isinya benar-benar satu miliar kata. Peluh dan rasa lelah serta putus asa sudah jamak kami jumpai tapi demi Eiffel kami lakukan segalanya.
Dalam perusahaan kami Era Int’l Transportation, memang memiliki tahapan-tahapan untuk menjadi Senior Tour Leader. Jika seorang karyawan bisa memenuhi target dalam satu tahun maka dia bisa promosi menjadi senior. Aku tak ingin membicarakan bagaimana sistim target dalam perusahaan kami, toh jika aku beberkan sistim itu maka sudah bukanlah menjadi rahasia perusahaan lagi. Aku masih punya hati dan nurani untuk tidak membeberkan rahasia perusahaan kami. Kasihan Ko Lian Shu, The God Father pemilik perusahaan kami jika rahasia dan strategi bisnisnya aku beberkan bisa jadi pesaingnya akan menjiplak dan mengadopsi teorinya. Terlebih lagi jika persaingan semakin tinggi dan perusahaan kami bangkrut matilah mimpi-mimpi kami. Intinya jika kami memenuhi target dalam satu tahun, kami akan promosi dan mendapatkan voucher paket perjalanan pribadi ke negara-negara daratan Amerika, Eropa atau Afrika sekalipun. Baru setelah itu kami menjadi senior dan bisa melenggang melalang buana memandu wisatawan Internasional.
“Uda, sekali lagi masihkah kau ingat tentang voucher itu?”
“Uda, masihkah kau ingat berapa lama kita berjuang untuk mendapatkan voucher itu?”
“Uda, hampir enam tahun kita memperjuangkan promosi dan voucher itu dengan jatuh bangun. Uda, masihkah kau ingat perjuangan kita di kala itu?” Tetes air mata ini jadi saksi betapa berat langkah kita menuju Paris, Uda.
Betapa jahat nian Wak Toli yang telah merusak akal sehat kita hanya dengan sebuah gambar menara yang memendarkan cahaya malam hari. Wak Toli, kau adalah sutradara yang menulis script cerita di balik semua ini, jika kata kau masih hidup! Aku sudah minta pertanggungjawaban atas kerusakan saraf kami, aku dan Uda Marbu. Tapi sudahlah apa mau dikata “Co a koncek baranang, co itu inyo” Bagaimana katak berenang, seperti itulah dia. Semua sudah terlanjur seperti ini tak mungkin ambo mengulangi atau merubah cara katak berenang. Nasi sudah menjadi bubur! Toh bubur pun tak selamanya tidak bisa dimakan, bukan? Alah sudahlah, Wak Toli maafkan ambo yang sudah marah-marah tak jelas ama kau. Tenang-tenanglah kau di bawah pusaramu, jangan pula kau tangisi aku. Sekali lagi maafkan ambo, sebagai ganti ambo akan berdoa selalu anjik kau Wak. Amin!
***
Paris, 22 tahun setelah gambar Eiffel membuat kelas riuh redam.
“Uda, kini umurku sudah tiga puluh tahun. Sudah mulai menua ambo ini”
“Uda, masihkah kau ingat 22 tahun lalu Wak Toli membawa gambar Eiffel ke kelas?”
“Uda, masihkah kau ingat 22 tahun lalu kita takjub akan keindahan menara itu?”
“Uda, aku ingin membisikkan sesuatu di telingamu. Aku yakin walau sangat pelan Uda pasti dengar. Mungkin kata itu yang paling kita tunggu selama 22 tahun ini. Eiffel, I’m coming.”
Uda, sekarang aku benar-benar berada di bawah Eiffel. Eiffel yang telah membangun mimpi kita berdua. Pandanganku hanya seper sekian jengkal atau mungkin hanya satu kedipan mata saja dari posisi empat kaki baja Eiffel. Betapa elok nian Eiffel itu, Uda. Lebih, lebih elok dari gambar yang dibawa Wak Toli 22 tahun lalu. Foto Eiffel yang dibawa Wak Toli memang diambil pada waktu malam yang memendarkan cahaya ribuan lampu yang menguliti di setiap ruas Eiffel. Memang Paris di malam hari bagai lautan cahaya, Uda. Semua bersinar, lantas wajar jika dia memiliki julukan La Ville Lumiere yaitu kota yang bersinar. Aku ingin sekali menceritakan semua yang aku lihat kepadamu. Tentang Paris, Prancis dan Eiffel.
Aku sangat kagum dengan menara ini, Uda. Bahkan mataku tak rela untuk berkedip. Aku tak habis pikir bagaimana dulu Gustave Eiffel membangun menara ini. Konstruksi yang amat megah di zaman itu. Uda, aku juga sempat membaca testimoni dari ilmuwan sekelas Thomas A. Edison yang mengunjungi menara ini dan menuliskan testimoni di buku tamu pada bulan September 1889. Testimoni itu di pajang di platform pertama menara ini.
“Kepada Tn. Eiffel sang insinyur sang pembangun berani arsitektur modern dan asli dari orang yang memberikan penghargaan besar untuk semua insinyur termasuk sang insinyur besar sang Bon Deu. Thomas Edison” Begitulah testimoni dari Edison, Uda.
Uda, kali ini aku sedang berada di Altitude 95 Restaurant yang berada di tingkat pertama dari menara ini. Restoran ini berada di ketinggian 95 meter di atas permukaan laut, dari menara ini aku bisa melihat betapa rapi tata letak kota Paris terutama di distrik ekonomi yang disebut dengan La Defense. Setiap jengkal keindahan yang aku nikmati ini, setiap jengkal itu pula aku teringat dengan kau.
Uda, sekarang aku berdiri di sebuah tempat di mana tempat ini adalah spot pengambilan gambar Eiffel yang dibawa Wak Toli 22 tahun lalu. Gambar yang memperlihatkan salah satu sisi Eiffel dan di depan Eiffel terdapat kolam dan taman air mancur yang berpendar indah dengan warna keemasan. Melihat semua ini aku bagai kembali meniti lorong waktu kembali ke masa di mana Wak Toli membawa gambar itu di kelas kita. Dulu kita melihat hanya dari gambar pas foto ukuran 5R tapi sekarang aku melihat dengan posisi yang sama dengan mata kepalaku sendiri, Uda. Di sampingku sekarang juga banyak para fotografer baik amatir ataupun yang Pro sedang mengabadikan keindahan siluet cahaya Eiffel dari Tour Montparnasse sebuah gedung pencakar langit di Paris yang berhadapan dengan Eiffel. Gedung ini memberikan fasilitas Sky Desk yaitu sebuah gedung yang berbentuk akuarium raksasa yang menjorok ke luar gedung, jika kita berada di Sky Desk ini maka kita selayaknya terbang di awang-awang. Uda, ini layaknya safari memori bagiku karena ketika aku berada di Paris semua imaji dan memori kembali ke masa kanak-kanak kita yang terbuai dengan Eiffel.
Selain itu aku juga sempat merasakan naik perahu Gondola menyusuri Sungai Seine yang mengalir tepat di samping menara Eiffel. Tahukah kau, Uda? Di sungai ini pula banyak pasangan yang memadu cinta. Mereka asyik masyuk dengan segala keindahan Paris. Setelah itu aku sempat menyaksikan konser amal yang diadakan di Champ de Mars, Champ de Mars sendiri adalah sebutan bagi areal menara Eiffel. Konser itu di prakarsai oleh organisasi UNESCO. Uda, baru aku tahu kalau markas organisasi UNESCO PBB juga berada di kota Paris. Hebat bukan?
“Uda, semoga kau masih mengingat semua kenangan dan perjuangan hidup yang kita lalui bersama. Terlebih tentang Paris dan Eiffel.”
Sekarang dan saat ini. Seharusnya kita berdua yang menikmati voucher ini. Kita berangkat berdua untuk menikmati imaji masa kecil kita, Uda. Kita dapat mengagumi Eiffel dengan mata telanjang kita bersama, berdecak kagum di bawahnya bersama. Itu yang seharusnya terjadi. Tapi kenapa hanya aku yang harus berangkat sendiri menuju Paris. Sedangkan dirimu, Uda?
“Uda, Tahukah kau voucher milikmu masih selalu aku simpan. Seharusnya dengan voucher itu kita bisa berangkat bersama ke Paris”
Tuhan telah mengambil kau dari sisiku sebelum mimpi kita menjadi kenyataan. Setahun yang lalu telah Tuhan mengambil kau saat kita telah memegang voucher untuk pergi ke Paris, Uda. Kenapa dulu kau harus menggantikan posisiku, Uda. Saat itu memang istriku sedang sakit Demam Berdarah padahal di saat yang sama aku harus memandu wisatawan ke Tibet. Aku tak bisa memandu karena harus menjaga istriku. Dan kau tahu Uda? Job ke Tibet itulah kunci pencapaian targetku agar mendapatkan voucher sekaligus promosi menjadi Senior Tour Leader. Begitu penting Job itu bagiku tapi sesungguhnya alangkah lebih penting istri ambo, Uda.
Uda, akhirnya kau memutuskan untuk menggantikan posisiku. Itu kau lakukan agar aku tak kehilangan kesempatan mendapatkan voucher serta promosi itu. Waktu itu kau memang sudah mendapatkan voucher dan promosi menjadi senior, maka kau rela menggantikan posisiku agar kita bisa sama-sama mendapatkan voucher untuk keliling Eropa. Terutama Paris dan Eiffel kita, Uda. Kau lakukan itu semua demi ambo, Uda.
Tapi sungguh nahas, Uda. Bus yang kau tumpangi tergelincir ke jurang saat hendak menuju titik tertinggi di Tibet untuk menyaksikan peradaban kuno di kaki gunung Himalaya. Lebih nahas nian nyawa kau tak tertolong, Uda. Tahukah kau, Uda? Saat itu aku langsung terbang meninggalkan Indonesia bergegas menuju tempat kau disemayamkan. Aku pula harus meninggalkan istriku yang sedang sakit sendirian. Aku hanya memikirkan kau, Uda. Aku sadari harusnya bukan kau tapi aku, Uda. Aku yang seharusnya berada di sana, terkapar di dalam jurang. Bukan kau, Uda. Dengan segenap kemampuan diplomatik yang kumiliki, aku sendiri yang mengurus kau sampai kembali ke Tanah Datar, kembali ke tempat asal kita meretas mimpi.
Betapa sulitnya memulangkan dirimu, Uda. Banyak sekali pungli yang harus aku tinggalkan hanya untuk membawa sebuah kotak kayu berisi kau, Uda. Gila nian orang-orang macam tu!. Tahukah kau, Uda. Pihak staf Kedubes R.I hanya mengucapkan bela sungkawa kepadaku dan menyerahkan untaian bunga. Ah... Bedebah! Buat apa bunga duka cita? Aku tak butuh itu, yang aku butuhkan adalah bantuan agar aku dan kau segera pulang ke Tanah Datar. Seminggu kita terkatung-katung di sana hingga akhirnya The God Father Ko Lian Shu turun tangan untuk memulangkan kita. Ko Lian Shu menjamin semua kebutuhan yang kita perlukan. Aku berpikir memang kadang kebijakan pihak swasta lebih tanggap dari kebijakan para ekselon di gedung putihnya R.I. Pantas saja kalau BUMN kita kembang kempis nafasnya sedangkan swasta semakin jaya mengudara. Uda, akhirnya aku bisa mengawal dirimu untuk tidur dengan nyenyak di Tanah Datar. Kau pernah mengajarkanku bahwa Urang Awak dilarang keras menangis apalagi bagi kaum laki-laki itu sebuah pantangan. Tapi Maaf, Uda. Saat mengiringi kepergianmu aku menangis untuk yang pertama kali dalam hidupku, aku menangis di hadapan orang yang melarangku menangis. Maafkan aku, Uda.
Uda, karena jasamulah aku mendapatkan voucher dan promosi ini. Aku bisa sampai ke Paris itu karena dirimu yang mengorbankan segalanya untuk diriku, Uda. Ko Lian Shu pernah berkata bahwa voucher milikmu bisa digunakan oleh orang lain dan dia mengusulkan agar diberikan kepada istriku sebagai teman selama aku di Paris. Tapi dengan lantang aku menolak tawaran itu. Bagiku tak ada satu pun orang yang berhak menggunakan voucher milikmu sekalipun itu anak umah atau istriku sendiri. Voucher milikmu akan aku simpan sebagai tanda penghormatan atas jasamu kepadaku.
Uda, kemegahan Eiffel tak mampu membendung air mataku saat aku harus mengingat segala budi yang kau torehkan untukku. Aku berjanji setelah kembali dari Paris aku akan langsung terbang ke Tanah Datar. Aku akan menceritakan semua pengalaman yang berharga ini di atas pusaramu. Walo Uda tak ado di samping ambo, aku yakin Uda mendengar semua cerita-cerita ambo. Uda, aku akan menyirami pusaramu dan akan menceritakan tentang Paris, Eiffel dan sepenggal kisah perjuangan hidup kita. Kepada siapa lagi aku harus menceritakan semua ini kalau bukan kepadamu. Hanya kau yang tahu pahit getirnya perjuangan menggapai Paris dan Eiffel menjadi kenyataan. Sekali lagi maafkan aku jika nanti aku menangis di atas pusaramu. Kau memang melarangku menangis, tapi kepada siapa lagi aku menangis kalau bukan kepadamu? Semoga sepenggal kisahku dari Paris dan Eiffel akan menemani dirimu dalam tidur nyenyak di bawah pusara alam bakamu. Tuhan pasti akan menjaga tidurmu, Uda.
Amin.......
***
Karangawen

Oleh : Aditya Dedi Al-Farisi,
Diposkan oleh : Teddy Silvanus

0 komentar:

Posting Komentar